• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Aan Sopiyan

Halo, saya Aan Sopiyan, penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas" juga Konselor Psikologi & NGO Profesional.

Di tengah keramaian kota, sebut saja ada seorang wanita bernama Luna. Dia adalah pekerja kantoran yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, rajin, penuh dedikasi untuk perusahaannya. Tapi belakangan ini hidupnya terasa seperti roller coaster yang nggak ada habisnya.

Krisis ekonomi bikin banyak perusahaan, termasuk tempat kerjanya, terpaksa merumahkan karyawan. Setiap hari, Luna berangkat kerja dengan perasaan cemas, bertanya-tanya apakah hari ini adalah hari terakhirnya di kantor yang sudah menjadi rumah kedua untuknya.

Suatu sore, saat hujan mulai mengguyur jalanan, Luna pulang dengan langkah berat. Langit kelabu seolah mencerminkan suasana hatinya yang muram. Dia merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton, dan beban pikiran tentang masa depan bikin dia sulit bernafas.

Di rumah, dia duduk di depan cermin, menatap bayangannya yang tampak lelah dan penuh kekhawatiran. Dalam momen-momen seperti ini, ketika dunia di luar terasa kelam, Luna merasa seolah-olah dia jatuh dalam kabut tebal yang sulit untuk ditembus.

Tapi, di sudut meja riasnya, ada sebuah kotak kecil berisi lipstik berwarna cerah. Lipstik itu adalah hadiah dari sahabatnya, Maya, yang selalu mengingatkan Luna untuk tidak melupakan keindahan dalam hidup, bahkan di saat-saat sulit.

Maya tahu betapa beratnya beban yang dipikul Luna, dan dia berharap lipstik itu bisa jadi pengingat bahwa ada kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam hal-hal kecil. Dengan ragu, Luna mengambil lipstik itu dan mulai mengoles ke bibirnya. Dalam sekejap, wajahnya yang tadinya suram seolah mendapatkan cahaya baru. Senyumnya merekah, dan kini rasanya dunia di sekelilingnya menjadi sedikit lebih cerah. Seperti sihir, lipstik itu mengubah suasana hatinya, memberikan sedikit kepercayaan diri yang hilang. Di saat-saat kelam, lipstik menjadi pelangi yang memberi warna pada hari-harinya yang kelabu.



Narasi yang baru saja kalian baca tentang kisah Luna dan Maya itu menggambarkan fenomena yang disebut dengan lipstick effect—fenomena di mana kita mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil, terutama saat keadaan sedang sulit. Lipstick effect ini menggambarkan bagaimana kita, terutama wanita, cenderung membeli barang-barang kecil dan terjangkau, seperti lipstik, ketika situasi ekonomi lagi nggak bersahabat.

Saat resesi melanda, banyak dari kita merasa terjebak dalam labirin kekhawatiran. Namun, di tengah kegelapan itu, membeli lipstik bisa jadi cahaya kecil yang menerangi jalan. Lipstik bukan hanya sekadar kosmetik; ia adalah senjata rahasia yang bisa meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan semangat baru. Saat kita mengoleskan lipstik favorit, rasanya seperti mengenakan armor yang membuat kita siap menghadapi dunia, meskipun di luar sana segala sesuatunya tampak berantakan.

Fenomena lipstick effect ini sangat menarik, terutama ketika kita melihat bagaimana di tengah kondisi ekonomi yang sulit, seperti penurunan daya beli, pengangguran, dan kesulitan pekerjaan, penjualan produk-produk mewah yang terjangkau tetap meningkat.

Leonard Lauder, CEO Estée Lauder, mengamati bahwa setelah tragedi 9/11, meskipun penjualan barang-barang mewah lainnya turun, penjualan lipstik justru naik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mencari kemewahan yang terjangkau sebagai bentuk hiburan dan kebahagiaan di masa sulit. Lipstik menjadi simbol kecil dari kemewahan yang bisa dijangkau, memberikan rasa nyaman dan bahagia di tengah ketidakpastian.

Contoh lain dari fenomena ini terlihat pada meningkatnya penjualan mobil dari China yang lebih murah dan bagaimana kita lebih memilih liburan ke tempat-tempat terdekat. Ketika orang merasa tertekan secara finansial, mereka cenderung mencari alternatif yang lebih terjangkau untuk memenuhi kebutuhan mereka akan hiburan dan relaksasi.

Ini juga terlihat dengan meningkatnya penjualan produk skincare selama pandemi COVID-19. Banyak orang yang terjebak di rumah mencari cara untuk merawat diri dan merasa baik, dan produk-produk perawatan kulit menjadi pilihan yang populer. Dalam situasi yang penuh tekanan, belanja barang-barang kecil ini memberikan pelarian dan kebahagiaan sejenak.

Bagi pria, fenomena ini bisa diibaratkan dengan kebiasaan pergi ngopi ke kafe. Di tengah kesibukan dan tekanan hidup, menikmati secangkir kopi di kafe favorit bisa jadi cara untuk merelaksasi diri.

Meskipun mungkin tidak ada acara khusus, pergi ngopi memberikan kesempatan untuk bersantai, berbincang dengan teman, atau sekadar menikmati waktu sendiri. Seperti membeli lipstik bagi wanita, pergi ngopi menjadi bentuk pelarian yang terjangkau dan memberikan kebahagiaan sejenak di tengah kesulitan.

Ada beberapa alasan mengapa kita melakukan ini. Pertama, saat menghadapi kesulitan, kita semua mencari cara untuk merasa lebih baik. Membeli lipstik baru bisa memberikan kebahagiaan sejenak, seperti secangkir kopi hangat di pagi hari yang dingin. Selain itu, dalam situasi yang tidak pasti, membeli sesuatu yang kecil memberi kita rasa kontrol. Kita bisa memilih warna, tekstur, dan merek yang kita suka, seolah-olah kita sedang menulis cerita kita sendiri di tengah kekacauan.

Dampak dari lipstick effect ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh industri kecantikan. Selama masa-masa sulit, banyak perusahaan melaporkan peningkatan penjualan produk-produk kecil. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mungkin mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mewah, kita tetap bersedia mengeluarkan uang untuk hal-hal yang membuat kita merasa baik. Seperti nasehat kehidupan, “tidak perlu yang sempurna jika yang biasa saja bisa membuatku bahagia,” barang-barang kecil ini bisa memberikan dampak yang besar pada suasana hati kita.

Di era modern ini, lipstick effect masih sangat relevan. Selama pandemi COVID-19, banyak orang merasa tertekan dan cemas. Dalam situasi seperti ini, belanja barang-barang kecil seperti lipstik atau produk perawatan kulit menjadi cara untuk menghibur diri. Meskipun kita mungkin tidak bisa pergi ke acara besar, kita tetap bisa merasa cantik di rumah, seolah-olah kita sedang bersiap untuk pesta yang hanya ada di dalam imajinasi kita.

Jelas lipstick effect adalah fenomena yang menarik dan menunjukkan bagaimana kita sebagai konsumen beradaptasi dengan situasi sulit. Meskipun mungkin terlihat sepele, membeli lipstik atau produk kecantikan lainnya bisa memberikan dampak positif bagi kesehatan mental kita.

Jadi, lain kali kamu merasa ingin berbelanja barang kecil, ingatlah bahwa itu adalah bagian dari cara kita merayakan diri di tengah tantangan hidup. Seperti pelangi setelah hujan, lipstik bisa menjadi simbol harapan dan kebahagiaan di saat-saat yang sulit.

Mari bahagiakan diri sendiri!

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Menulis. Kata yang sederhana, tapi menyimpan segudang makna, ya? Bagi sebagian orang, menulis adalah sahabat karib, tempat mencurahkan segala isi hati, wadah menuangkan ide-ide cemerlang. Tapi bagi sebagian yang lain, menulis bisa terasa seperti mendaki gunung Everest tanpa peralatan yang memadai – menakutkan, melelahkan, dan rasanya mustahil untuk sampai di puncak. Nah, kalau kamu termasuk yang merasa menulis itu tantangan berat, tenang saja! Artikel ini akan membantumu mengubah persepsi itu. Kita akan menjelajahi dunia menulis, bukan sebagai pendaki gunung yang ketakutan, tapi sebagai penjelajah yang antusias, siap menikmati setiap langkah perjalanan.


Bayangkan menulis sebagai sebuah petualangan. Bukan petualangan yang penuh bahaya dan misteri, tapi petualangan yang penuh penemuan dan kejutan. Setiap kata yang kamu tulis adalah langkah kaki yang membawa kamu lebih dekat ke tujuan. Setiap kalimat adalah pemandangan indah yang kamu temukan di sepanjang perjalanan. Setiap paragraf adalah lembah dan bukit yang membentuk lanskap petualanganmu. Dan setiap tulisan yang selesai adalah puncak yang berhasil kamu taklukkan, memberikan kepuasan dan kebanggaan yang luar biasa.

Pertama-tama, kamu perlu menyiapkan perlengkapan. Bukan peralatan panjat tebing, tapi perlengkapan menulis. Ini termasuk tempat menulis yang nyaman, alat tulis yang sesuai seleramu (entah itu laptop, tablet, atau buku dan pena kesayanganmu), dan tentu saja, ide-ide yang siap untuk dieksplorasi. Cari tempat yang membuatmu merasa nyaman dan terinspirasi. Bisa di kafe yang ramai, di perpustakaan yang sunyi, atau bahkan di kamar tidurmu sendiri yang nyaman. Yang penting, tempat itu harus bebas dari gangguan yang bisa menghambat aliran kreativitasmu.

Selanjutnya, tentukan tujuan petualanganmu. Mau menulis novel fantasi epik? Atau mungkin blog tentang resep masakan rumahan? Atau mungkin hanya jurnal pribadi untuk mencatat perjalanan hidupmu? Tujuan yang jelas akan membantumu tetap fokus dan termotivasi. Bayangkan kamu sedang merencanakan perjalanan liburan. Kamu pasti akan menentukan destinasi, durasi perjalanan, dan hal-hal yang ingin kamu lakukan di sana, kan? Menulis pun sama. Tentukan tujuanmu, lalu rencanakan langkah-langkah yang perlu kamu ambil untuk mencapainya.

Jangan lupa, petualangan selalu penuh dengan tantangan. Kadang kamu akan menemukan jalan yang terjal dan sulit dilalui. Kadang kamu akan merasa lelah dan ingin menyerah. Itu wajar! Setiap penulis, bahkan yang paling berpengalaman sekalipun, pernah mengalami hal ini. Yang penting adalah kamu tidak menyerah begitu saja. Istirahat sejenak jika perlu, lalu lanjutkan petualanganmu. Ingat, setiap tantangan yang kamu hadapi akan membuatmu lebih kuat dan berpengalaman.

Salah satu tantangan terbesar dalam menulis adalah mengatasi rasa takut akan kritik. Kamu mungkin takut tulisanmu akan dianggap buruk, atau bahkan ditertawakan orang lain. Tapi ingatlah, setiap karya seni, termasuk tulisan, adalah sebuah ekspresi diri. Jangan takut untuk bereksperimen dan mencoba hal-hal baru. Jangan takut untuk membuat kesalahan. Kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Yang terpenting adalah kamu berani untuk berbagi tulisanmu dengan dunia.

Untuk mengatasi rasa takut ini, cobalah untuk menulis untuk dirimu sendiri terlebih dahulu. Tulislah apa yang ingin kamu tulis, tanpa memikirkan penilaian orang lain. Setelah kamu merasa nyaman dengan tulisanmu, barulah kamu bisa mulai berbagi dengan orang lain. Carilah komunitas penulis atau kelompok diskusi online. Misalnya, Penulis Subuh. Berbagi tulisanmu dengan orang lain akan membantumu mendapatkan umpan balik dan dukungan. Selalu ingat, kamu tidak sendirian dalam petualangan menulis ini.

Selain itu, jangan lupa untuk membaca karya-karya penulis lain. Bacalah berbagai genre dan gaya penulisan. Ini akan membantumu memperluas wawasan dan menemukan inspirasi baru. Bayangkan kamu sedang menjelajahi sebuah museum seni. Kamu akan melihat berbagai macam karya seni dengan gaya dan tema yang berbeda-beda. Membaca karya penulis lain pun sama. Kamu akan menemukan berbagai macam gaya penulisan dan ide-ide baru yang bisa kamu terapkan dalam tulisanmu sendiri.

Terpenting, konsistensi adalah kunci untuk keberhasilan dalam petualangan menulis ini. Cobalah untuk menulis secara teratur, meskipun hanya sedikit setiap hari. Buatlah jadwal menulis yang sesuai dengan rutinitasmu. Jangan memaksakan diri untuk menulis jika kamu sedang tidak mood. Yang penting adalah kamu tetap konsisten dalam menulis, meskipun hanya beberapa menit setiap hari. Bayangkan kamu sedang berlatih lari marathon. Kamu tidak akan langsung bisa berlari marathon dalam waktu singkat, kan? Kamu perlu berlatih secara konsisten agar bisa mencapai tujuanmu.

Jangan bandingkan dirimu dengan penulis lain. Setiap orang memiliki gaya dan kecepatan menulis yang berbeda. Fokuslah pada perjalananmu sendiri. Nikmati setiap langkah yang kamu ambil. Rayakan setiap pencapaian, sekecil apapun itu. Setiap kata yang kamu tulis adalah sebuah kemenangan. Setiap kalimat yang kamu susun adalah sebuah prestasi. Setiap paragraf yang kamu selesaikan adalah sebuah keberhasilan.

Terakhir, percayalah bahwa menulis adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Kamu akan terus belajar dan berkembang seiring berjalannya waktu. Jangan takut untuk mencoba hal-hal baru dan bereksperimen dengan gaya penulisanmu. Yang terpenting adalah kamu menikmati petualangan menulis ini. Jadi, bersiaplah untuk memulai petualanganmu. Ambil pena (atau laptop)mu, dan mulailah menulis! Dunia menanti cerita-ceritamu. Dan percayalah, perjalanan ini akan jauh lebih menyenangkan dan bermakna daripada yang kamu bayangkan. Kamu akan menemukan keindahan dalam setiap kata, kedalaman dalam setiap kalimat, dan kepuasan yang tak terhingga di setiap tulisan yang kamu selesaikan. Selamat berpetualang! Dan jangan lupa, bagikan cerita petualangan menulismu dengan dunia!
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Apa kamu tahu move on itu apa? Saya sih nggak paham ungkapan itu jelasnya seperti apa. Tetapi, rasa-rasanya saya tidak pernah move on atas apa yang telah saya lalui. Baik ketika itu saat-saat menyenangkan ataupun saat-saat menyedihkan.

Karena hari-hari yang menyenangkan membuat saya bahagia, dan hari-hari yang menyedihkan membuat saya lebih kuat.

Katakan saja move on itu berarti pergi menjauh. Biasanya dikaitkan dengan proses healing pasca putus cinta, karenanya kita yang patah hati jadi pergi menjauh dari sang mantan dengan serangkaian kenangannya. Tetapi, benarkah kita bisa melakukan itu semua? Menghilangkan jejak-jejak kebersamaan atau pengalaman yang telah ter-record utuh dalam ingatan dengan berusaha move on?

Jika maksud kamu move on sama dengan melupakan, maka kamu perlu merumuskan kembali konsep move on-mu. Karena itulah alasan mengapa kamu jadinya gagal move on terus-terusan, ya karena pekerjaan melupakan itu suatu hal yang hampir mustahil untuk dilakukan. Maka sebaiknya konsep utama dari move on itu sebaiknya bukanlah melupakan, melainkan berbaikan dengan semua kenangan dan ingatan yang terjadi.

Yakini bahwa semua hal yang terjadi di masa lalu itu mengandung pembelajaran sehingga kita tak lagi merasa sakit saat teringat tentangnya. Tidak seperti perangkat komputer atau smartphone yang bisa kita reset atau bahkan instal ulang jika ada kesalahan terjadi, maka masa lalumu itu bisa abadi.

Karena sudah kadung banyak salah tafsir, sehingga daripada menggunakan ungkapan move on, saya sih lebih suka dengan istilah move forward. Jika move on dapat diartikan dengan berpindah, meninggalkan atau melupakan, maka move forward itu artinya maju terus. Ini berarti apapun yang ada di belakang atau di masa lalu, tentu saja itu bisa berupa kesenangan ataupun kesedihan, saya bisa membawanya ke depan. Semua itu adalah pengalaman yang menjadikan diri saya saat ini. Jadi, mengapa pula harus saya lupakan? (dan memang saya tak mampu untuk melupakannya)

Dengan move forward, alih-alih melupakan tetapi pada saatnya kita jadinya harus memaafkan. Kita perlu ingat bahwa orang yang bersedih ada saatnya akan tertawa lagi dan tersenyum lagi. Jika mereka beruntung, mereka akan menemukan cinta lagi. Tapi ya, tentu saja, mereka akan bergerak maju (move forward) dan bukan berarti juga mereka dikatakan telah move on, kan?



Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Pernah dengar istilah bias konfirmasi? To the point aja deh ya. Bias konfirmasi adalah salah satu jenis bias kognitif yang sering kali memengaruhi cara kita berpikir dan mengambil keputusan. Jadi, bias konfirmasi itu kayak kacamata berwarna yang bikin kita cuma lihat dunia dari satu sisi.

Bayangkan deh, kita lagi jalan di taman, tapi kita cuma mau lihat bunga-bunga merah yang kita suka, sementara bunga-bunga biru yang cantik di sebelahnya kita abaikan. Nah, itulah yang sering terjadi dalam cara kita berpikir dan mengambil keputusan sehari-hari. Kita cenderung nyari informasi yang sejalan dengan apa yang kita yakini, dan sering kali kita cuekin info yang bertentangan. Ini bikin kita susah banget buat melihat situasi secara objektif, kayak lagi nyetir mobil tapi kaca spionnya kabur.

Kenapa sih bisa gitu? Semua ini berawal dari cara kerja otak kita yang suka banget nyari pola dan konsistensi. Ketika kita udah punya keyakinan tertentu, otak kita kayak detektif yang lagi nyari bukti-bukti yang mendukung teori yang udah ada. Ditambah lagi, emosi dan identitas kita juga ikut berperan. Keyakinan itu sering kali nempel erat sama siapa kita, jadi ketika ada info yang bertentangan, kita merasa kayak ada yang nyerang identitas kita. Dan jangan lupa, pengaruh dari teman-teman atau kelompok kita juga bikin kita lebih percaya sama info yang sejalan dengan pandangan mereka.

Dampak dari bias konfirmasi ini bisa bikin kita terjebak dalam labirin yang sempit. Misalnya, di dunia bisnis, manajer yang terjebak dalam bias ini bisa jadi buta sama data yang nggak mendukung strategi mereka, dan ujung-ujungnya bisa bikin keputusan yang salah kaprah. Di ranah politik, bias ini bisa bikin kita terjebak dalam gelembung informasi, di mana kita cuma dikelilingi berita yang sejalan dengan pandangan politik kita, sehingga kita jadi kurang paham dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Dalam hal kesehatan, orang yang percaya sama pengobatan alternatif bisa jadi menutup telinga terhadap bukti ilmiah yang menunjukkan pengobatan konvensional itu efektif.

Nah, untuk bisa keluar dari jebakan bias konfirmasi ini, kita perlu jadi detektif yang lebih cerdas. Caranya? Aktif nyari informasi dari berbagai sumber dan perspektif. Dengan memperluas wawasan, kita bisa mengurangi kecenderungan buat percaya sama info yang cuma mendukung keyakinan kita. Mengasah kemampuan berpikir kritis dan skeptis juga penting, biar kita bisa menilai informasi dengan lebih objektif. Selain itu, belajar menerima ketidakpastian dan memahami bahwa nggak semua info bisa dikategorikan hitam-putih bisa bikin pikiran kita lebih terbuka.

Dengan menyadari adanya bias konfirmasi dan berusaha mengatasinya, kita bisa jadi lebih baik dalam mengambil keputusan yang rasional. Memahami dan mengatasi bias ini bukan cuma penting buat diri kita sendiri, tapi juga buat menciptakan masyarakat yang lebih terbuka dan toleran. Di dunia yang semakin rumit dan terhubung ini, kemampuan untuk melihat melampaui bias konfirmasi jadi semakin penting untuk membangun dialog yang konstruktif dan saling menghormati.

Jadi, ayo kita berani membuka pikiran dan hati kita! Setiap langkah kecil untuk memahami perspektif yang berbeda adalah langkah besar menuju pertumbuhan pribadi. Ingat, dunia ini penuh warna, dan dengan melihat dari berbagai sudut pandang, kita bisa menemukan keindahan yang mungkin selama ini terlewatkan. Jangan takut untuk bertanya, belajar, dan tumbuh. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi versi terbaik dari diri kita!
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar

Ada satu kutipan yang saya temukan di media sosial, kira-kira begini bunyinya, “Kita tidak dibayar atas waktu yang kita habiskan, tapi kita dibayar atas masalah yang telah kita selesaikan.” Selanjutnya, “Semakin besar masalahnya, semakin besar pula bayarannya.” Mari kita sedikit ulas kutipan itu dengan sudut pandang Stoik yang kebetulan sedang saya baca-baca beberapa bukunya. (Jadi ketahuan lagi banyak pikiran, kan?)

Jadi, pernah nggak kamu berpikir tentang waktu yang hilang? Jam demi jam yang kita habiskan untuk bekerja, berlari mengejar target, atau sekadar tenggelam dalam rutinitas. Kadang, rasanya seperti pasir yang mengalir di sela-sela jari. Tidak peduli seberapa erat kita menggenggam, waktu tetap saja hilang. Namun, saya pikir ada sudut pandang yang bisa mengubah cara kita melihat semuanya. Sebuah lensa yang diajarkan oleh kutipan tadi, bahwa nilai kita bukan dari waktu yang terlewat, tetapi dari masalah yang kita selesaikan.

Bayangkan hidup ini seperti sebuah lautan luas. Kamu adalah seorang pelaut yang mencoba menavigasi badai, angin kencang, dan gelombang besar. Waktu adalah angin; ia terus berhembus, tak bisa dihentikan. Tapi, apa yang benar-benar menentukan perjalananmu bukanlah seberapa lama kamu menghabiskan waktu di atas kapal, melainkan seberapa jauh kapal itu melaju dan pelabuhan apa yang berhasil kamu tuju. Inilah esensi dari Stoikisme yang saya baca-baca: fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan.

Para Stoik seperti Marcus Aurelius atau Seneca percaya bahwa kehidupan tidak diukur dari panjangnya waktu, tetapi dari kualitas tindakan kita. Ketika kita memilih untuk menyelesaikan masalah, kita sebenarnya sedang menciptakan dampak. Semakin besar masalah yang kita selesaikan, semakin kuat dampaknya, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri kita sendiri. Seperti batu yang dilempar ke danau, masalah yang besar menghasilkan riak yang jauh lebih luas.

Tapi, menyelesaikan masalah bukan berarti selalu harus menjadi pahlawan besar dalam cerita epik. Terkadang, itu adalah hal sederhana seperti membantu teman menemukan jalan keluar dari kebingungan, memberikan nasihat yang tulus, atau bahkan menghadapi ketakutanmu sendiri. Setiap langkah kecil adalah kemenangan, dan setiap kemenangan memberi makna pada waktu yang kita miliki.

Dalam hal urusan dunia yang sering kali menilai kita dari jam kerja atau kecepatan menyelesaikan tugas, filsafat Stoik mengajarkan sesuatu yang berbeda: hidup dengan prinsip. Apa masalah yang benar-benar layak untuk diselesaikan? Apa yang akan memberi makna pada usahamu? Ini seperti seorang pemahat yang tidak asal memukul batu, tetapi melihat bentuk yang tersembunyi di dalamnya. Dengan setiap pukulan pahat, dia mendekati visinya, menciptakan sesuatu yang bernilai.

Tentu saja, menjalani hidup seperti ini membutuhkan keberanian. Karena, jujur saja, fokus pada dampak sering kali berarti menghadapi masalah yang tidak nyaman, yang menantang, yang membuatmu bertanya apakah kamu cukup kuat. Tapi di situlah pertumbuhan terjadi. Seneca pernah berkata, “Kesulitan memperlihatkan siapa dirimu sebenarnya.” Dan seperti halnya emas yang dimurnikan dalam api, masalah besar adalah ujian yang membentukmu menjadi lebih baik.

Bayangkan kamu sedang memanjat gunung. Setiap langkah terasa berat, napasmu tersengal-sengal, dan kadang kamu tergoda untuk berhenti. Tapi ketika kamu mencapai puncak, pandangan yang terbentang di depan matamu menghapus semua rasa lelah. Kamu menyadari bahwa perjalanan itu, setiap tantangan dan masalah yang kamu hadapi, adalah bagian dari keindahannya.

Jadi, ketika waktu terasa seperti pasir yang menghilang, ingatlah ini: fokuslah pada apa yang bisa kamu ciptakan, bukan apa yang kamu habiskan. Hidup ini bukan tentang menghitung jam, tetapi tentang membuat jam-jam itu berarti. Dan semakin besar masalah yang kamu selesaikan, semakin besar pula bayaran, bukan hanya dalam bentuk materi saja, tetapi dalam rasa pencapaian yang tak tergantikan.

Kamu bukan hanya pelaut yang terbawa angin, kamu adalah nakhoda dari perjalananmu sendiri. Dengan setiap masalah yang kamu selesaikan, kamu sedang menuliskan cerita hidupmu–sebuah cerita yang akan terus bergema, bahkan setelah waktu berhenti berdetak.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ada seorang pemula yang mencoba mengikuti tutorial memasak di media sosial. Melihat betapa mudah dan menyenangkannya proses itu dalam video, dia berpikir, "Kalau dia bisa masak seperti itu, gue juga bisa!" Namun, kenyataan tidak semudah yang dibayangkan. Kesalahan kecil dalam mengatur api malah berujung pada tragedi: dapurnya kebakaran! Bukan menghasilkan hidangan lezat, dia malah harus berurusan dengan petugas damkar. Kisah ini, meski ekstrem, menggambarkan bagaimana harapan tinggi yang dipicu oleh keberhasilan orang lain bisa berbenturan dengan realita.


Premis "Kalau orang lain bisa, saya juga bisa!" adalah pernyataan sederhana yang penuh makna, tapi kamu harus berhati-hati karena bisa juga menyesatkan. Di satu sisi, ini memberikan dorongan optimisme dan keyakinan diri, tapi di sisi lain, ada banyak hal menarik yang bisa digali. Saya coba sedikit ulas dari sisi psikologi, filsafat, dan sosiologi. Juga bagaimana kita memahami ini di era modern yang penuh tekanan sekaligus peluang. Yuk, terus baca!

Dalam psikologi, pernyataan ini punya dasar kuat. Kita cenderung belajar dari apa yang kita lihat. Kalau orang lain berhasil, terutama kalau mereka punya kemiripan dengan kita, otak kita otomatis berpikir, "Eh, kalau dia bisa, kenapa gue nggak?" Ini bukan sekadar asumsi kosong. Ada teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura yang mendukung hal ini. Misalnya, eksperimen terkenal dengan boneka Bobo menunjukkan bagaimana anak-anak meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Kalau orang dewasa bertindak agresif terhadap boneka, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kita belajar banyak dari lingkungan kita, termasuk keberhasilan orang lain.

Plus, ada konsep yang namanya efikasi diri, yaitu kepercayaan kita terhadap kemampuan sendiri untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas tertentu. Efikasi diri ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman pribadi; kalau kita pernah berhasil mengerjakan sesuatu sebelumnya, kita cenderung lebih percaya diri. Kedua, pengalaman vikarius, yaitu melihat orang lain berhasil. Ketiga, dorongan sosial seperti pujian atau dukungan dari orang lain. Dan keempat, kondisi psikologis; misalnya, kalau kita sedang santai dan tidak stres, rasa percaya diri biasanya lebih tinggi. Jadi, kalau kita lihat orang lain sukses, itu bisa memompa efikasi diri kita, meski ada catatan penting: jangan lupa realistis. Kalau kita berharap terlalu tinggi tanpa memahami tantangan sebenarnya, semangat tadi bisa berubah jadi beban yang bikin stres.

Di sisi lain, kalau dipikir secara filosofis, premis ini bikin kita merenung tentang kebebasan dan tanggung jawab. Jean-Paul Sartre, misalnya, bilang kalau kita ini "pengrajin" hidup kita sendiri. Artinya, kita punya kebebasan untuk menentukan apa yang mau kita capai. Tapi, kebebasan ini datang bareng tanggung jawab, dan di sinilah muncul dilema. Apakah semua orang benar-benar punya peluang yang sama? Kalau ada orang yang berhasil karena mereka punya akses lebih baik ke pendidikan atau dukungan tertentu (privilege), maka apakah itu berarti semua orang bisa melakukan hal yang sama? Nggak, kan?! Rasanya nggak adil kalau kita mengabaikan faktor-faktor seperti ini.

Kemudian, kalau dilihat dari sisi sosial, narasi "kalau orang lain bisa, saya juga bisa" sering banget muncul di masyarakat yang percaya meritokrasi. Dalam teori ini, keberhasilan dianggap hasil murni dari usaha dan kemampuan individu. Tapi kenyataannya, struktur sosial sering kali membatasi akses ke peluang. Nggak semua orang punya jalan yang sama. Dan di zaman media sosial sekarang, hal ini makin rumit. Kita sering lihat postingan keberhasilan orang lain yang bikin kita mikir, "Wow, gampang banget ya sukses." Padahal, yang ditunjukkan itu hanya bagian puncaknya aja, bukan perjuangan di belakang layar.

Ah, tapi nggak semuanya negatif, kok. Di era modern ini, ada banyak hal yang bikin premis tadi jadi relevan. Cerita-cerita inspiratif tentang orang yang bangkit dari nol sering banget memotivasi kita. Ada juga platform pendidikan online yang bikin belajar hal baru jadi lebih gampang. Cuma di sisi lain, kita juga harus hati-hati. Optimisme berlebihan bisa bikin kita lupa bahwa setiap orang punya jalannya masing-masing. Membandingkan diri kita dengan orang lain bisa jadi racun kalau nggak dilakukan dengan cara yang sehat.

Jadi, gimana kita menyikapi premis ini? Kuncinya ada di keseimbangan. Kita bisa pakai kalimat ini sebagai motivasi, tapi jangan sampai kehilangan kesadaran diri. Setiap orang punya cerita dan tantangannya sendiri. Jadikan keberhasilan orang lain sebagai inspirasi, bukan alat untuk menyiksa diri sendiri. Dengan begitu, "Kalau orang lain bisa, saya juga bisa!" tetap jadi mantra yang membangun tanpa membuat kita kehilangan pijakan pada kenyataan.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Digital Marketer. Penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas". Konselor Psikologi.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Februari 2025 (2)
  • Januari 2025 (6)
  • Desember 2024 (5)
  • November 2024 (1)
  • Oktober 2024 (19)
  • September 2024 (14)

Created with by ThemeXpose