• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Aan Sopiyan

Halo, saya Aan Sopiyan, penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas" juga Konselor Psikologi & NGO Profesional.

Kamu sedang berjalan di sebuah mal, dikelilingi oleh berbagai toko dengan beragam tampilan yang memikat. Di depanmu, ada etalase dengan warna merah cerah yang langsung mencuri perhatian. Tanpa sadar, langkahmu melambat, mata tertarik pada produk di balik kaca. Warna merah itu seakan memanggil, membisikkan semangat dan urgensi yang tak terucapkan. Di sisi lain, kamu melihat toko dengan nuansa biru muda, dan tiba-tiba, rasanya seperti kamu ditarik ke dalam suasana yang tenang dan penuh kepercayaan. Apakah kamu menyadari bahwa warna-warna ini sedang bermain dengan emosimu?

Dalam dunia marketing, warna bukan sekadar elemen dekoratif. Warna adalah bahasa emosional yang berbicara langsung pada alam bawah sadar kita. Setiap warna membawa pesan, membentuk persepsi, dan secara tidak langsung memengaruhi keputusan yang kita buat. Bayangkan setiap warna seperti seorang pemandu di persimpangan jalan, membisikkan petunjuk halus tentang ke mana kita harus melangkah. Ini adalah seni, dan pada saat yang sama, ini adalah sains. 🌟


Setiap kali kamu melihat warna, otakmu merespons dengan cepat dan tanpa disadari. Warna merah misalnya, sering kali dikaitkan dengan gairah, energi, dan aksi. Tak heran banyak diskon besar atau penawaran terbatas menggunakan warna ini, seperti sinyal lampu merah yang memintamu berhenti dan memperhatikan.

Lalu ada warna biru, warna yang sering kita lihat di logo perusahaan besar yang ingin menunjukkan kepercayaan dan profesionalisme. Biru memberi rasa tenang, stabil, dan dapat diandalkan—seperti lautan yang tenang di hari cerah, mengundangmu untuk berlayar tanpa rasa khawatir. Ini adalah jenis warna yang membuat kamu merasa aman dan nyaman. Mungkin kamu tidak menyadari, tetapi ketika kamu memilih untuk mempercayai merek tertentu, warna biru sering menjadi latar belakang dari keputusan itu.

Kamu pernah merasa nyaman ketika melihat warna hijau? Warna ini membawa kesan alami dan segar. Dalam marketing, hijau sering digunakan untuk produk-produk yang berhubungan dengan kesehatan atau keberlanjutan, seperti angin sepoi-sepoi yang membawa harapan akan kehidupan yang lebih baik dan sehat.

Menariknya, banyak dari keputusan pembelian yang kita buat terjadi di tingkat bawah sadar. Kita mungkin berpikir bahwa kita memilih produk karena harga atau kualitas, tetapi kenyataannya, warna memiliki pengaruh besar dalam proses itu. Misalnya, produk dengan warna kuning cerah bisa menggugah perasaan optimisme dan kegembiraan, membuat kita merasa bahwa produk tersebut membawa kebahagiaan yang tak terucapkan. Begitu kamu tersenyum ketika melihatnya, tanpa sadar kamu sudah terhubung secara emosional dengan produk itu.

Persepsi kita terhadap produk sering kali dibentuk hanya dalam beberapa detik pertama melihatnya, dan warna memiliki peran penting dalam persepsi tersebut. Dalam dunia di mana kita terus-menerus dibanjiri informasi, warna memberikan shortcut yang cepat untuk menarik perhatian kita. Bayangkan warna sebagai magnet yang menarik perasaan kita, kemudian mendorong kita untuk bertindak.

Sekarang, bagaimana jika kamu adalah marketer yang sedang merancang kampanye, atau misalnya, diminta memilih palet warna untuk merek? Bagaimana cara kamu menentukan warna yang akan berbicara paling kuat kepada audiensmu?

Pertama, kamu perlu memahami siapa target audiensmu. Jika kamu menargetkan generasi muda yang dinamis dan penuh energi, warna-warna cerah seperti merah, oranye, atau kuning mungkin menjadi pilihan yang tepat. Namun, jika kamu ingin menciptakan kesan elegan dan mewah, warna seperti hitam, emas, atau perak dapat memberikan nuansa eksklusif yang diinginkan.

Kedua, penting untuk mempertimbangkan image merek kamu. Jika kamu mengelola merek yang bergerak di bidang kesehatan, hijau atau biru mungkin bisa menjadi pilihan ideal karena kedua warna tersebut berhubungan dengan ketenangan, kesegaran, dan kepercayaan. Setiap warna yang kamu pilih harus selaras dengan pesan yang ingin disampaikan oleh merek kamu. Jangan biarkan warna menyampaikan pesan yang salah, seperti seorang utusan yang keliru mengartikan surat penting.

Mari kita lihat beberapa contoh nyata. Sebuah perusahaan teknologi mungkin memilih warna biru untuk logo mereka, karena ingin menunjukkan kesan profesional dan dapat dipercaya. Di sisi lain, sebuah restoran cepat saji seperti McDonald's menggunakan merah dan kuning yang penuh energi dan semangat, karena mereka tahu bahwa kedua warna ini merangsang rasa lapar dan mempercepat pengambilan keputusan.

Lihat bagaimana Coca-Cola menggunakan warna merah yang ikonik? Merah ini menciptakan rasa urgensi dan energi yang mengasosiasikan mereknya dengan momen-momen bahagia dan menyenangkan. Warna ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.

Lalu mengapa kita perlu beljar tentang warna? Karena seperti alunan musik yang memengaruhi perasaan kita, warna juga memiliki kekuatan yang sama. Dengan belajar lebih banyak tentang pengaruh warna dalam marketing, kamu bisa membuka pintu ke dunia baru di mana setiap keputusan yang kamu buat sebagai marketer atau konsumen menjadi lebih sadar dan terarah.

Jadi, jangan berhenti di sini. Teruslah gali lebih dalam tentang bagaimana warna memengaruhi kita dalam segala aspek kehidupan. Dengan memahami psikologi warna, kamu tidak hanya bisa menjadi konsumen yang lebih cerdas, tetapi juga marketer yang lebih efektif.

Warna adalah alat yang sangat kuat. Seperti kuas di tangan seorang pelukis, warna bisa mengubah pandangan, perasaan, dan pada akhirnya, tindakan. Saat kamu memahami cara menggunakan warna dengan benar, kamu akan menemukan bahwa keputusan konsumen sering kali dimulai dari palet warna yang kamu pilih. Teruslah belajar, teruslah mengeksplorasi, dan biarkan warna menjadi sekutu terkuat dalam setiap strategi pemasaranmu.

---

Semakin kamu menyadari betapa dalamnya pengaruh warna, semakin besar peluangmu untuk menggunakannya dengan tepat. Mari kita melangkah lebih jauh, memahami bagaimana warna dan psikologi konsumen dapat membuka jalan menuju kesuksesan pemasaran yang lebih besar.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bagaimana rasanya hari Senin? Kebanyakan dari kita mungkin melihat Senin sebagai hari yang terasa berat. Macet di jalan, tubuh yang lelah setelah akhir pekan, dan pikiran rasanya belum benar-benar siap untuk memulai hari. Kadang, kita sudah merasa lelah duluan sebelum pekerjaan benar-benar dimulai.

Saya juga tahu perasaan itu. Sebagai warga Kabupaten Bandung yang kerja di Kota Bandung, sudah begitu banyak yang saya alami setiap kali Senin datang. Kadang rasanya seperti mendaki gunung yang curam dengan lembah yang begitu dalam. Tapi, pernahkah kamu perhatikan satu hal? Di antara semua kesibukan yang menunggu di hari Senin, ada satu orang—atau beberapa orang—yang selalu tampak siap lebih dulu. Mereka datang lebih pagi, tersenyum lebar, bahkan terlihat tenang saat banyak dari kita masih mengeluh. Siapa mereka, dan apa yang membuat mereka berbeda?

Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya sekadar datang lebih awal. Mereka adalah gambaran dari seseorang yang siap menghadapi bukan hanya Senin, tapi juga semua tantangan yang datang sepanjang minggu. Mereka adalah cerminan mental pekerja yang fokus, disiplin, dan punya tujuan yang jelas. Sepertinya, Senin bagi mereka bukan sekadar hari biasa—Senin adalah awal, titik start, dan penentu arah.

Lalu, apa yang membuat mereka begitu siap, sementara kita kadang merasa terpuruk bahkan sebelum sempat bangkit?

Jawabannya sederhana tapi dalam: kesiapan. Senin, sama seperti hari lainnya, bukan soal harinya yang membuatnya berat. Bukan pula tentang berapa banyak pekerjaan yang menanti. Senin adalah cerminan kesiapan mental kita. Siap atau tidak siap, Senin akan tetap datang. Persoalannya adalah, apakah kita siap menghadapinya dengan kepala tegak atau malah terpuruk di bawah tekanan?

Setiap dari kita memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Kita semua memulai dari titik yang berbeda. Ada yang sudah jauh di depan, ada yang masih di titik awal. Namun, apa pun posisi kita, Senin adalah seperti sebuah checkpoint. Sebuah titik di mana kita bisa melihat ke depan dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya serius menjalani ini?” Senin, jika kita perhatikan lebih dalam, mirip dengan masa depan atau cita-cita kita. Apakah kita benar-benar ingin meraih sesuatu, atau kita masih bingung dan belum tahu mau ke mana?

Perspektif kita terhadap Senin juga memainkan peran penting. Bagi sebagian orang, Senin adalah peluang baru. Mereka melihatnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, belajar hal baru, atau mendekatkan diri pada tujuan yang sudah mereka tetapkan. Namun, bagi sebagian yang lain, Senin mungkin justru terasa seperti beban. Sebuah hari di mana kebingungan atau keraguan memenuhi pikiran, karena mereka belum punya tujuan yang jelas. Bahkan, ada juga yang melihatnya sebagai hari tanpa makna, hanya sekadar mengulang rutinitas yang sama.

Tapi, coba pikirkan ini: apakah mungkin Senin bisa menjadi lebih mudah jika kita mengubah cara kita melihatnya? Alih-alih memandangnya sebagai hari penuh tekanan, kita bisa melihat Senin sebagai tanda bahwa kita masih punya kesempatan. Kesempatan untuk memulai lagi, kesempatan untuk melangkah lebih dekat ke tujuan kita. Ini bukan soal siapa yang tercepat, siapa yang paling dulu mencapai garis finish. Ini tentang perjalanan kita sendiri, dan bagaimana kita bisa memanfaatkan setiap momen untuk terus maju, tanpa keluh kesah.



Kita mungkin memulai dari tempat yang berbeda. Mungkin ada yang sudah berada jauh di depan, sementara kita masih di belakang. Tapi ingat, setiap orang punya kecepatan masing-masing. Fokuslah pada perjalananmu. Senin adalah peluang untuk merapatkan barisan, memperkuat fokus, dan melangkah lebih jauh menuju tujuan. Ibaratnya, Senin adalah pintu menuju masa depan. Bagaimana kita menghadapinya, menentukan seberapa besar kita siap membuka pintu itu.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Jalan panjang dimulai dengan satu langkah.” Dan langkah pertama itu bisa jadi adalah Senin. Kalau kita memulainya dengan perasaan berat, kita akan membawa beban itu sepanjang minggu. Tapi, jika kita memulainya dengan pikiran jernih dan hati yang siap, bukan hanya Senin yang terasa lebih ringan—semua hari-hari lainnya pun akan terasa lebih mudah.

Jadi, mulai sekarang, bagaimana kalau kita coba melihat Senin dengan sudut pandang yang berbeda? Bagaimana jika kita mulai menyambutnya sebagai kesempatan, bukan beban? Karena pada akhirnya, fokus dan kesiapan kita menghadapi Senin adalah modal terbesar yang kita punya. Modal yang akan membawa kita ke tujuan, apa pun itu, tanpa harus terlalu banyak mengeluh.

Kamu siap? Saya tahu, kamu bisa menghadapi ini. Tidak ada yang lebih baik dari menyambut hari dengan tekad yang kuat dan pikiran yang jernih. Setiap Senin adalah langkah kecil menuju impian kita. Jadi, mari kita jalani dengan penuh semangat. Senin adalah cerminan dari kesiapan kita, dan kita lebih kuat dari yang kita kira.

Bismillah!

Bandung, September 2024
Aan Sopiyan
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Halo, semoga kamu dalam keadaan baik dan semangat, ya! Pernah nggak sih, kamu lagi di mal atau scrolling di marketplace, tiba-tiba tanpa sadar klik tombol "Beli"? Padahal kalau dipikir-pikir, barang itu mungkin belum kamu butuhkan saat ini. Tapi, kenapa ya, kita bisa begitu impulsif membuat keputusan pembelian? Nah, inilah yang ingin saya ceritakan kepada kamu hari ini: bagaimana emosi bisa menjadi kunci yang sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan kita, termasuk saat membeli sesuatu.



Kamu mungkin berpikir bahwa setiap kali mengambil keputusan, kamu bertindak logis. Tentu saja, kita suka berpikir begitu. Tapi kenyataannya, emosi memainkan peran yang jauh lebih besar dari yang kamu kira. Coba bayangkan, ketika kamu pertama kali melihat sepatu yang super keren di toko favoritmu. Apa yang pertama kali muncul di pikiran? Apakah langsung memikirkan harganya, kualitas bahan, atau manfaatnya dalam jangka panjang? Mungkin sebagian, iya. Tapi yang pertama kali muncul biasanya adalah perasaan "Wah, ini keren banget! Pasti aku kelihatan bagus pakai sepatu ini."

Perasaan “wah” itu, itulah emosi yang bekerja.

Karena emosi adalah kompas yang membimbing keputusan. Begitulah. Pernahkah kamu merasa ragu-ragu memilih antara dua produk? Keduanya tampak sama-sama bagus, mungkin harganya pun tidak jauh berbeda. Lalu, kamu tiba-tiba memilih yang satu, tanpa alasan logis yang jelas. Itu salah satu cara emosi membantu kita membuat keputusan. Emosi bertindak seperti kompas, membantu kita mengarahkan pikiran ke arah tertentu, bahkan ketika logika kita sedikit bimbang.

Mari saya kasih contoh nyata. Bayangkan kamu sedang mencari ponsel baru. Kamu sudah melakukan riset, membaca ulasan, dan membandingkan spesifikasi. Ada dua pilihan ponsel yang hampir sama, tetapi entah kenapa kamu cenderung memilih yang mereknya kamu suka sejak dulu. Kenapa begitu? Karena kamu sudah punya hubungan emosional dengan merek tersebut. Kamu merasa "aman" dan "nyaman" dengan merek itu, meskipun logika mengatakan bahwa kedua ponsel itu hampir tidak ada bedanya.

Nah, emosi seperti inilah yang tanpa sadar mengarahkan kita. Dan produsen serta marketer sangat paham tentang kekuatan emosi ini.

Terus, kunci dari keputusan pembelian itu ada di memori dan emosi kamu. Coba ingat-ingat lagi momen ketika kamu sangat bahagia, mungkin saat kamu mendapat hadiah dari seseorang yang spesial. Apa yang terjadi saat kamu melihat benda itu lagi? Kamu merasa ada kehangatan yang menyentuh, bukan? Itulah kekuatan memori emosional. Barang yang dihubungkan dengan emosi positif cenderung lebih kuat menarik perhatian kita.

Misalnya, kamu bisa saja tertarik membeli cokelat tertentu hanya karena waktu kecil, orang tua kamu sering membelikan cokelat itu sebagai hadiah. Tanpa sadar, kamu berusaha mengulang momen kebahagiaan tersebut melalui pembelian sederhana. Ini bukan hanya sekadar rasa cokelatnya yang enak, tetapi juga perasaan manis yang terkait dengan kenangan indah dari masa lalu.

Jadi, saat saya berbicara tentang menggunakan emosi untuk meningkatkan keputusan pembelian, saya sebenarnya sedang berbicara tentang bagaimana kita bisa menggali lebih dalam ke dalam hubungan emosional yang telah kita bangun dengan produk, merek, atau bahkan pengalaman masa lalu kita.

Ada pertanyaan kenapa emosi lebih kuat dari logika. Kamu mungkin salah satu yang bertanya-tanya, "Kenapa sih, emosi lebih dominan dari logika dalam membuat keputusan pembelian?" Sederhana saja, otak kita lebih cepat memproses emosi daripada fakta-fakta logis. Ibaratnya seperti ini, bayangkan kamu sedang berkendara di jalan raya yang sepi. Tiba-tiba seekor anjing melintas di depan mobilmu. Tanpa berpikir panjang, kamu langsung menginjak rem. Itu adalah respons emosional. Kalau kamu menunggu logika kamu untuk menganalisis situasi, mungkin terlambat!

Begitu pula dalam belanja. Kita bereaksi dulu secara emosional sebelum logika punya kesempatan untuk berperan. Itulah sebabnya mengapa iklan-iklan yang sukses sering kali menyentuh emosi kita lebih dulu. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual perasaan: kebahagiaan, ketenangan, percaya diri, bahkan rasa kasih sayang. 

Contoh nyatanya yang digunakan dalam iklan. Saya yakin kamu sering melihat iklan-iklan yang menyentuh hati, seperti iklan-iklan yang dirilis mendekati Hari Raya Idul Fitri atau Natal. Mereka menceritakan kisah yang begitu hangat dan penuh cinta, kadang-kadang sampai membuat mata kita berkaca-kaca. Padahal, produk yang dijual mungkin hanya deterjen, makanan ringan atau sirup. Tapi kamu merasa ada ikatan emosional dengan produk tersebut karena ceritanya begitu menyentuh.

Contoh lain, saat kamu melihat iklan mobil, biasanya mereka tidak hanya menampilkan spesifikasi teknis seperti berapa liter bensin per kilometer yang bisa dihemat. Mereka lebih fokus menunjukkan bagaimana mobil itu akan membuat hidupmu lebih nyaman dan aman bersama keluarga, bagaimana kamu bisa mengeksplorasi tempat-tempat baru dengan penuh kebebasan. Ini adalah strategi pemasaran yang memanfaatkan emosi, bukan hanya logika.

Maka, seharusnya kita bisa gunakan emosi dalam membuat keputusan yang lebih baik. Kita balik situasinya. Bagaimana kalau kamu belajar mengelola emosi untuk membuat keputusan pembelian yang lebih cerdas? Jangan salah paham, emosi itu sangat kuat dan bisa membantu kita, tapi hanya jika kita sadar akan pengaruhnya.

Ketika kamu sadar bahwa emosi sedang bermain dalam keputusanmu, kamu bisa menarik napas dalam-dalam dan berhenti sejenak untuk bertanya, "Apakah saya membeli ini karena saya benar-benar membutuhkannya, atau hanya karena saya tergoda oleh perasaan sesaat?" Dengan begitu, kamu bisa membuat keputusan yang lebih seimbang antara emosi dan logika. Ingat, kamu punya kendali penuh atas setiap keputusan yang kamu buat!



Kamu mungkin berpikir, "Wah, ini sulit juga ya untuk mengelola emosi saat belanja." Tapi saya ingin memberikan motivasi untuk kamu: Ini semua adalah proses belajar. Seperti saat pertama kali kamu belajar bersepeda, kamu mungkin jatuh beberapa kali, tapi lama-lama kamu akan menguasainya. Begitu juga dengan memahami emosi dalam keputusan pembelian. Dengan semakin kamu belajar, semakin kamu paham, dan semakin kamu mampu mengendalikan keinginan belanja impulsifmu.

Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah kesadaran. Ketika kamu menyadari bahwa emosi bukan musuh, tetapi alat yang bisa kamu kendalikan, kamu akan merasa lebih kuat dalam setiap keputusan yang kamu buat, bukan hanya dalam belanja, tapi dalam banyak aspek hidupmu.

Jadi, siapkah kamu untuk mulai menggunakan emosi sebagai alat yang memperkuat keputusan-keputusanmu? Saya yakin kamu bisa! Terus belajar, terus kembangkan diri, dan jangan takut untuk mengendalikan arah hidupmu. Kamu sudah punya semua yang kamu butuhkan untuk sukses, sekarang saatnya untuk mengasahnya!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hai, apa kabar, kamu? Hari ini saya ingin berbagi sesuatu yang sering kali menjadi kunci di dunia digital marketing, tapi mungkin masih banyak yang belum benar-benar memahami esensinya. Kita akan bicara tentang Inbound Marketing, sebuah strategi yang bukan hanya sekadar menarik orang untuk datang, tapi juga menciptakan koneksi yang nyata dan bertahan lama.

Misalkan kamu sedang berjalan di hutan, dan kamu menemukan sebuah sungai yang mengalir tenang. Airnya begitu jernih, seolah memanggilmu untuk mendekat. Tanpa sadar, kamu terhipnotis oleh suara gemericik airnya dan akhirnya memutuskan untuk duduk di pinggir sungai, merasakan kedamaian. Nah, inbound marketing itu seperti sungai ini. Ia tidak berteriak meminta perhatian, tetapi ia menarikmu dengan cara yang alami, lembut, dan mengalir dengan sendirinya.



Jadi apa sih inbound marketing itu?

Inbound marketing pada dasarnya adalah pendekatan pemasaran yang berfokus pada menarik konsumen ke arah brand, bukan mengejar orang-orang seperti iklan tradisional. Inbound marketing bekerja seperti magnet—bukan seperti sound horeg yang berusaha mengalahkan kebisingan. Strategi ini menciptakan nilai melalui konten yang relevan dan bermanfaat, membuat orang datang dengan sendirinya karena mereka merasa tertarik, bukan terpaksa.

Kalau kamu memiliki sebuah toko buku, misalnya. Alih-alih memasang baliho besar yang mengiklankan diskon, kamu membuat blog yang penuh dengan ulasan buku, tips membaca, atau bahkan cerita pendek yang memikat. Orang-orang yang mencintai buku akan tertarik datang ke blogmu, membaca isinya, dan pada akhirnya, mereka ingin membeli buku dari tokomu. Mereka datang bukan karena kamu memaksa, tetapi karena kamu menawarkan sesuatu yang bermanfaat dan relevan.

Apa pondasi utama dari inbound marketing?

Sama seperti rumah yang kokoh membutuhkan fondasi yang kuat, inbound marketing juga memiliki beberapa pilar penting. Kamu perlu memahami ini dengan baik sebelum melangkah lebih jauh.

1. Konten yang Bernilai

Konten adalah jantung dari inbound marketing. Tanpa konten yang tepat, strategi ini tak akan berjalan. Kamu harus mampu menciptakan konten yang benar-benar bermanfaat bagi target audiensmu. Bayangkan kontenmu seperti api unggun di malam hari. Orang-orang datang bukan hanya untuk kehangatannya, tetapi juga untuk berbagi cerita dan pengalaman.

Contohnya, jika kamu menjalankan bisnis jasa konsultan keuangan, maka konten yang bermanfaat mungkin berupa artikel tentang cara mengelola keuangan pribadi, video tutorial investasi, atau podcast tentang kebiasaan finansial yang baik. Semakin berguna dan relevan kontenmu, semakin banyak orang yang akan datang.

2. SEO (Search Engine Optimization)

Jika konten adalah jantung, maka SEO adalah jalan yang membawanya sampai ke hadapan audiens. SEO memastikan bahwa kontenmu mudah ditemukan oleh orang-orang yang mencarinya. Ini seperti menanam bunga di tempat yang paling sering dilewati orang. Kamu ingin bunga itu terlihat, dihargai, dan dinikmati oleh siapa saja yang melintas.

Ada berbagai elemen SEO, mulai dari penggunaan kata kunci yang tepat, struktur konten yang mudah dipahami, hingga optimasi teknis seperti kecepatan situs web. Semakin baik SEO-mu, semakin besar kemungkinan kontenmu muncul di halaman pertama mesin pencari. Dan ketika itu terjadi, lebih banyak orang akan datang dengan sendirinya.

3. Media Sosial

Media sosial adalah jembatan yang menghubungkan kamu dengan audiensmu. Dengan menggunakan media sosial, kamu bisa menyebarkan kontenmu ke lebih banyak orang, menciptakan dialog, dan membangun hubungan yang lebih dalam dengan audiens. Pikirkan media sosial seperti lapangan terbuka di mana kamu bisa mengajak orang lain bermain, berbincang, dan bertukar pikiran.

Jika kamu memiliki konten blog yang menarik, kamu bisa membagikan potongan kecil di Instagram, Twitter, atau LinkedIn untuk menarik perhatian. Dari sana, mereka akan tertarik mengunjungi blogmu untuk membaca lebih lanjut. Media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi, tetapi juga tempat untuk mendengarkan apa yang audiensmu butuhkan dan inginkan.

4. Personalisasi

Inbound marketing bukan hanya tentang menarik banyak orang, tetapi juga tentang memahami setiap individu yang datang. Ini adalah tentang menciptakan pengalaman yang dipersonalisasi untuk setiap pengunjung. Seperti barista yang tahu kopi favoritmu tanpa perlu bertanya, kamu ingin membuat setiap orang yang datang merasa diperhatikan dan dimengerti.

Kamu bisa menggunakan data dan analitik untuk memahami perilaku pengunjung situsmu. Jika seseorang sering membaca artikel tentang keuangan pribadi, kamu bisa mengirimkan mereka newsletter dengan topik serupa. Ini akan membuat mereka merasa bahwa kamu benar-benar peduli dan memahami kebutuhan mereka.


Proses inbound marketing bisa diibaratkan seperti perjalanan yang penuh makna. Pada awalnya, orang asing datang ke tempatmu karena mereka tertarik dengan sesuatu yang kamu tawarkan—baik itu konten, produk, atau solusi. Setelah mereka merasa nyaman, mereka akan mulai percaya dan akhirnya menjadi pelanggan setia. Perjalanan ini memiliki beberapa tahap, mulai dari awareness kemudian ke consideration hingga decision.

Awareness (Kesadaran)
Pada tahap ini, orang-orang menyadari bahwa mereka memiliki masalah atau kebutuhan, tetapi belum tahu apa solusinya. Di sinilah kontenmu mulai bekerja. Kamu memberikan informasi yang membantu mereka memahami masalah tersebut dan mulai mencari solusinya.

Consideration (Pertimbangan)
Setelah sadar akan kebutuhan mereka, orang-orang mulai mempertimbangkan opsi yang ada. Mereka mungkin membaca lebih banyak konten dari berbagai sumber, mencari tahu apa yang terbaik untuk mereka. Pada tahap ini, kamu harus menunjukkan bahwa solusi yang kamu tawarkan adalah pilihan yang tepat.

Decision (Keputusan)
Hingga akhirnya, orang-orang sudah siap untuk mengambil keputusan. Jika kamu berhasil membangun kepercayaan dan memberikan nilai yang sesuai, mereka akan memilihmu.


Mungkin saat ini kamu berpikir, "Wah, ini terdengar seperti banyak pekerjaan." Dan ya, inbound marketing memang membutuhkan dedikasi. Tapi, percayalah, usaha ini akan terbayar dengan cara yang mungkin tidak kamu duga. Seperti menanam pohon yang lambat tumbuh, inbound marketing membutuhkan kesabaran, tetapi pada akhirnya, buahnya akan manis.

Kamu tidak harus menguasai semuanya dalam sehari. Seperti halnya perjalanan sungai, yang terpenting adalah alirannya konsisten dan terus maju. Mulailah dengan langkah kecil—buat satu konten yang bernilai, optimasi SEO sedikit demi sedikit, dan bangun hubungan dengan audiensmu. Setiap langkah yang kamu ambil adalah bagian dari perjalanan besar menuju sukses.

Jadi, mari kita lanjutkan perjalanan ini, bersama-sama. Saya yakin, dengan semangat belajar yang kamu miliki, inbound marketing bukan hanya akan menjadi strategi, tetapi juga seni yang bisa kamu kuasai. Dan ketika itu terjadi, kamu akan melihat bagaimana bisnismu tumbuh, seperti sungai yang terus mengalir membawa kesegaran.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kamu pernah merasa kampanye pemasaran yang kamu lakukan kurang tepat sasaran? Atau mungkin, kamu merasa pesan yang sudah disiapkan begitu matang tidak "nyambung" dengan audiens yang dituju? Nah, di sinilah pentingnya buyer persona. Saya akan berbagi pengalaman dan langkah-langkah tentang cara membuat buyer persona yang efektif, yang bukan hanya akan membantu kamu lebih memahami audiens, tapi juga menargetkan mereka dengan tepat. 

Kenapa Buyer Persona itu Penting?

Saya ingin kamu membayangkan skenario ini: kamu memiliki produk luar biasa yang bisa membantu banyak orang. Tapi, jika kamu tidak tahu siapa orang-orang itu, bagaimana kamu bisa menyampaikan pesan yang tepat untuk mereka? Begitu juga dengan buyer persona. Jika kita tidak mengenal siapa yang menjadi target, tujuan kampanye kita bisa melenceng jauh.

Buyer persona itu seperti peta harta karun yang memberi kita petunjuk tentang siapa audiens kita, apa yang mereka inginkan, dan bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi dengan mereka. Saat kamu memahami mereka, kampanye pemasaranmu bisa menjadi lebih personal, relevan, dan pastinya, lebih sukses.

Pertama, mari kita kumpulkan data audiens. Saya yakin kamu sepakat, bahwa langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengenal audiens kita secara mendalam. Bayangkan kamu hendak membuat pesta kejutan untuk sahabat dekatmu. Tentu kamu perlu tahu hal-hal yang ia suka: dari makanan favorit, hobi, sampai siapa saja teman dekatnya, bukan?

Hal yang sama berlaku ketika kita membuat buyer persona. Kita perlu mengumpulkan data sebanyak mungkin. Mulai dari informasi demografis seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, hingga pekerjaan. Tapi, jangan berhenti di sana! Saya juga mengajak kamu untuk menggali lebih dalam. Cobalah memahami aspek psikografis mereka: bagaimana gaya hidup mereka? Apa yang mereka nilai dalam hidup? Bagaimana mereka menghabiskan waktu luang?

Misalnya, jika kamu menjual produk kecantikan premium, tentu target audiens kamu mungkin adalah wanita berusia 25-40 tahun, tinggal di kota besar, dengan penghasilan yang cukup tinggi. Mereka juga cenderung peduli dengan kualitas dan tren kecantikan terkini. Jadi, kamu bisa menyesuaikan pesan marketing dengan preferensi dan gaya hidup mereka.

Kedua, lakukan wawancara dan survei. Setelah memiliki data dasar, mari kita gali lebih dalam. Tidak ada cara yang lebih baik untuk memahami audiens selain dengan mendengarkan langsung dari mereka. Saya sangat merekomendasikan kamu untuk melakukan wawancara atau survei. Kenapa? Karena kamu bisa mendapatkan jawaban yang tidak terduga dan jauh lebih kaya daripada hanya sekadar menganalisis data.

Misalnya, saat saya membuat persona untuk sebuah bisnis makanan sehat, saya memutuskan untuk berbicara langsung dengan beberapa pelanggan. Saya menemukan bahwa banyak dari mereka sebenarnya merasa terbebani untuk memasak makanan sehat setiap hari karena kesibukan kerja. Dari sini, saya bisa menyimpulkan bahwa solusi terbaik yang bisa saya tawarkan adalah kemudahan, bukan sekadar kualitas bahan.

Dengan wawancara, kamu bisa memahami lebih dalam kebutuhan, keinginan, dan tantangan apa yang sebenarnya mereka hadapi. Terkadang, wawancara juga membantu kita menemukan insight baru yang tidak bisa kamu dapatkan dari data mentah.

Ketiga, identifikasi tujuan dan tantangan. Sekarang, mari kita pahami lebih jauh tentang tujuan dan tantangan yang dihadapi audiens kita. Kamu perlu bertanya: apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh mereka? Apakah mereka ingin menjadi lebih produktif, menghemat uang, atau belajar keterampilan baru? Apa hambatan terbesar mereka untuk mencapai tujuan itu?

Contoh sederhana, bayangkan kamu menjual alat olahraga. Audiensmu mungkin ingin menjadi lebih bugar, tetapi hambatan terbesar mereka bisa jadi waktu dan motivasi. Dengan memahami ini, kamu bisa menyesuaikan pesan kampanye untuk membantu mereka mengatasi masalah tersebut, misalnya dengan menawarkan program latihan singkat yang bisa dilakukan di rumah.

Keempat, rumuskan solusinya. Ketika kita sudah mengetahui tujuan dan tantangan audiens, kini saatnya merumuskan solusi yang bisa kamu tawarkan. Bagaimana produk atau layananmu dapat membantu mereka? Ini adalah momen penting di mana kamu harus bisa menghubungkan titik-titik antara kebutuhan mereka dan apa yang kamu tawarkan.

Misalnya, jika persona kamu adalah seorang ibu bekerja yang ingin tetap menjaga kebugaran tetapi tidak punya banyak waktu, solusinya bisa berupa aplikasi olahraga yang fleksibel dengan video singkat yang bisa dilakukan kapan saja. Dengan solusi yang tepat, produkmu tidak hanya menjadi pilihan, tapi menjadi jawaban yang dicari.

Kelima, buat profil buyer persona. Nah, setelah semua informasi terkumpul, saatnya kita merangkumnya menjadi profil buyer persona yang jelas dan mudah dipahami. Buat profil tersebut seolah kamu sedang menggambarkan seseorang yang nyata. Mulailah dengan memberi nama fiktif yang relevan. Misalnya, "Sarah, Ibu Bekerja yang Super Sibuk" atau "Denny, Millennial Traveler yang Tech-Savvy."

Profil ini harus mencakup:
  • Nama: Nama fiktif untuk mempermudah kamu membayangkan siapa mereka.
  • Demografis: Usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan lokasi.
  • Psikografis: Apa yang mereka sukai, gaya hidup, serta nilai-nilai yang mereka pegang.
  • Tujuan dan Tantangan: Apa yang ingin mereka capai, dan apa hambatan yang mereka hadapi.
  • Solusi: Bagaimana produk atau layananmu bisa membantu mereka.
Dengan profil ini, setiap kali kamu merencanakan kampanye pemasaran, kamu akan selalu tahu kepada siapa pesanmu harus diarahkan.


Keenam, evaluasi secara berkala. Kamu tahu bahwa dunia selalu berubah, begitu juga dengan audiens. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengevaluasi buyer persona secara berkala. Jangan biarkan profil yang kamu buat menjadi usang. Selalu perbarui informasi dan sesuaikan dengan perubahan tren atau kebiasaan audiens.

Sebagai contoh, jika kamu menjalankan bisnis online di tengah tren AI dan teknologi, perilaku konsumen mungkin akan berubah dalam beberapa bulan. Apa yang mereka cari dan butuhkan juga bisa berkembang, jadi buyer persona harus fleksibel.

---

Dengan membuat buyer persona yang tepat, kamu tidak hanya akan lebih memahami audiensmu, tetapi juga dapat membuat kampanye pemasaran yang lebih relevan dan personal. Jadi, ayo mulai sekarang—kenali audiensmu dengan lebih baik, buat buyer persona yang solid, dan lihat bagaimana bisnismu bisa tumbuh lebih cepat!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bayangkan ini: kamu sedang bersantai di kedai kopi favoritmu. Saat menyesap secangkir cappuccino yang lembut sembari terdengar merdu dan syahdu suara musik klasik, matamu tertuju pada papan menu. Di sana tertulis, "Minuman Spesial Hari Ini: Es Kopi Karamel, hanya Rp15.000!" Otak kamu mulai berpikir, "Biasanya kan Rp25.000? Wah, lagi murah nih!" Tanpa sadar, kamu memutuskan untuk memesan lagi. Selamat! kamu baru saja menjadi korban teknik pemasaran yang memanfaatkan psikologi konsumen.

Sebagai marketer, memahami psikologi konsumen adalah senjata rahasia untuk memenangkan hati (dan dompet) target audiens kamu. Tapi, apa sebenarnya yang membuat psikologi konsumen begitu penting?

Pertama, karena pelanggan adalah manusia, BUKAN MESIN. Kadang marketer bisa terjebak berpikir bahwa pelanggan hanya melihat angka: harga produk, diskon, atau fitur yang ditawarkan. Padahal, manusia adalah makhluk emosional yang sering mengambil keputusan berdasarkan perasaan. kamu mungkin pernah mendengar bahwa 95% keputusan pembelian didasarkan pada emosi. Inilah mengapa iklan yang menyentuh hati, lucu, atau menginspirasi, sering kali lebih berhasil dibandingkan hanya menyodorkan spesifikasi produk.

Coba ingat kembali iklan Nike dengan slogan "Just Do It". Bukan hanya sekadar mempromosikan sepatu, tapi mereka menjual perasaan keberanian, semangat, dan kemenangan. Sepatu Nike seakan-akan bisa membuat kamu menjadi versi terbaik dirimu!

Kedua, kita jadi bisa membaca pikiran konsumen, tapi sayangnya, bukan dengan kekuatan super. Memahami psikologi konsumen memungkinkan marketer untuk "membaca" apa yang diinginkan konsumen tanpa perlu telepati. Dengan mengetahui apa yang memotivasi mereka—apakah itu rasa takut tertinggal (FOMO), dorongan untuk merasa diterima, atau sekadar keinginan untuk memanjakan diri—kamu bisa menyesuaikan pesan pemasaran dengan lebih efektif.

Bayangkan jika marketer bisa benar-benar membaca pikiran konsumen. Mungkin kita akan melihat balon pemikiran di atas kepala pelanggan di supermarket berbunyi, "Aku nggak butuh ini, tapi diskonnya 50%, jadi... kenapa nggak?"



Ketiga, menciptakan pengalaman yang lebih personal. Psikologi konsumen membantu marketer menciptakan pengalaman yang personal dan relevan. Konsumen tidak suka diperlakukan seperti angka statistik. Mereka ingin merasa bahwa mereka dimengerti dan dilayani sesuai kebutuhan mereka. Dengan memahami pola pikir konsumen, kamu dapat menyusun strategi yang lebih berfokus pada pengalaman konsumen—baik melalui email marketing yang dikustomisasi, iklan yang menargetkan kebutuhan spesifik, atau konten yang berbicara langsung dengan mereka.

Misalnya, platform seperti Netflix tahu betul apa yang kamu suka tonton dan memberikan rekomendasi yang terasa 'pas banget'. Hal ini bukan karena mereka punya dukun, tetapi karena mereka memanfaatkan data dan psikologi konsumen untuk menciptakan pengalaman yang lebih personal.

Keempat, untuk menghindari kesalahan pemasaran fatal. Tidak memahami psikologi konsumen bisa berujung pada bencana pemasaran. kamu bisa saja menawarkan produk dengan harga terbaik dan fitur luar biasa, tetapi jika kamu gagal memahami apa yang sebenarnya diinginkan konsumen, kamu akan kesulitan. Ini seperti menjual es krim ke orang yang sedang diet—kurang tepat waktu, kurang relevan!

Sebagai contoh, ada sebuah perusahaan yang berusaha menjual smartphone mewah kepada segmen pasar yang cenderung memilih produk ekonomis. Apa yang terjadi? Jelas saja produk itu tak laku karena mereka gagal memahami bahwa target audiens mereka lebih peduli pada harga daripada fitur canggih.

Kelima, psikologi konsumen bukan tentang memanipulasi, tapi memahami. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa menggunakan psikologi konsumen adalah bentuk manipulasi. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Memahami psikologi konsumen bukan berarti kamu memaksa mereka membeli produk yang tidak mereka butuhkan. Sebaliknya, ini adalah cara untuk menyesuaikan pesan dan produkmu agar lebih relevan dengan apa yang mereka inginkan dan butuhkan. 

Jika kita bisa membantu pelanggan merasa lebih puas, mendapatkan nilai lebih, atau bahkan merasa sedikit lebih bahagia, itu adalah win-win bagi semua orang!

Jadi...

Jika kamu masih bertanya-tanya mengapa memahami psikologi konsumen penting, ingatlah ini: dengan memahami apa yang membuat pelanggan kamu tertarik, kamu bisa mengarahkan strategi pemasaran yang tidak hanya efektif tetapi juga lebih manusiawi. Dan mungkin, di lain waktu kamu melihat papan menu di kedai kopi itu, kamu akan tersenyum, sadar bahwa ada 'sihir' psikologi konsumen yang sedang bekerja di balik layar.

Pada akhirnya, memahami psikologi konsumen tidak hanya membuat kamu menjadi marketer yang lebih cerdas, tetapi juga lebih terhubung dengan audiens-mu. Nah, jadi bagaimana menurutmu? Sudah siap untuk 'membaca pikiran' pelanggan?


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Satu hal yang akan saya katakan berulang kali kepada siapapun yang berminat menjadi seorang blogger, "Konsistensi adalah kunci terkait konten yang tayang pada blog milik mereka."

Blogging itu menyenangkan, ya kan? Bahkan, ketika pertama kali memulai, kita jadi bertanya-tanya mengapa tidak kita lakukan lebih awal. Membagikan pemikiran dan ide dengan jumlah orang 'tak terbatas' layaknya mimpi menjadi kenyataan.

Namun, segera kita tersadar bahwa menulis di blog hanyalah puncak dari gunung es. Kita kemudian menemukan ada unsur-unsur lain yang terlibat, seperti:

- Social media
- Engagement
- Email list
- SEO
- Dan apalah itu!

Tidak jarang melihat blogger merasa kewalahan oleh semua tambahan. Dan itu membuat kita lupa tentang dari mana kita seharusnya memulai sebagai langkah pertama: baca-bacalah dahulu, menulis kemudian.


Tanpa disadari, kita beralih dari menerbitkan tulisan baru tiga hingga lima kali seminggu menjadi sekali atau dua kali. Dalam skenario terburuk, turun menjadi sebulan sekali; atau paling parah tidak pernah sama sekali.

So what?

Kita mungkin bertanya-tanya apa masalahnya jika hanya segitulah yang dapat kita lakukan dengan setulusnya. Sayangnya, tidak peduli seberapa tulus niat kita, traffic blog (mau tak mau) akan tampak menjadi gangguan tatkala postingan kita tenggelam tanpa jejak. Sedih rasanya, pemikiran dan ide kita tidak menjadi jejak untuk siapa pun; bahkan diri kita sendiri.

Jadi, memang begitulah aturannya: konsistensi adalah koentji.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Menjadi seorang manager mungkin terlihat menarik dari luar—dengan gaji yang lebih tinggi, tanggung jawab yang lebih besar, serta pengaruh yang lebih luas dalam organisasi. Namun, di balik semua itu, peran seorang manager juga penuh tantangan dan pengorbanan. Jika kamu sedang mempertimbangkan untuk naik jabatan menjadi seorang manager, ada baiknya kamu memikirkan ulang apakah kamu siap menghadapi tiga hal penting berikut ini:

1. Lebih Sedikit Waktu untuk "Hands-On"

Sebagai seorang individu yang berprestasi di level teknis, mungkin kamu terbiasa bekerja secara langsung (hands-on) dalam proyek. Kamu terlibat secara mendalam dalam setiap detail dan menikmati proses problem-solving yang kompleks. Namun, saat kamu menjadi manager, fokusmu akan berubah. Sebagian besar waktumu tidak lagi dihabiskan untuk menyelesaikan masalah teknis, tetapi untuk berpikir strategis, mengoordinasikan tim, serta mengatur hubungan dengan departemen lain. Bahkan, kamu juga harus siap terlibat dalam "politik kantor", memediasi kepentingan yang berbeda, dan menjaga stabilitas timmu.

Jika kamu merasa bahwa pekerjaan teknis dan eksplorasi detil adalah hal yang paling kamu nikmati, menjadi manager bisa terasa kurang memuaskan. Sebagai seorang leader, kamu lebih banyak berada di level makro, mengarahkan jalannya tim secara keseluruhan daripada terlibat langsung di dalamnya.


2. Mengurus Masalah Orang Lain

Sebelumnya, kamu mungkin hanya perlu fokus pada pekerjaanmu sendiri—melakukan yang terbaik di bidangmu. Namun, sebagai seorang manager, fokusmu akan bergeser dari penyelesaian masalah teknis menjadi penyelesaian masalah manusia. Kamu harus memikirkan bagaimana caranya merekrut anggota tim yang tepat, mengelola performa tim, dan melakukan percakapan sulit ketika ada yang tidak mencapai target.

Ini termasuk memberikan feedback yang konstruktif kepada anggota tim yang underperform, menyelesaikan konflik di antara tim, dan membuat mereka merasa termotivasi agar tidak hengkang ke perusahaan lain. Bagi sebagian orang, menangani aspek manusia dari pekerjaan ini bisa terasa rumit dan melelahkan. Jika kamu lebih suka bekerja dengan logika dan data daripada dengan emosi dan kebutuhan manusia, peran ini mungkin terasa cukup menantang.

3. Memprioritaskan Tim di Atas Diri Sendiri

Menjadi seorang manager berarti kamu harus menempatkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi. Ketika ada peluang yang bagus untuk meningkatkan visibilitas dan kredibilitas, kamu perlu memberikan anggota tim kesempatan untuk bersinar, meskipun itu mungkin kesempatan yang ingin kamu ambil sendiri. Sebaliknya, ketika tim melakukan kesalahan, kamulah yang harus bertanggung jawab dan melindungi mereka.

Ini adalah salah satu tantangan terbesar dari peran sebagai manager. Kepemimpinan yang baik berarti menjadi pelindung dan pendukung bagi timmu, meskipun itu berarti kamu harus berkorban secara pribadi. Memprioritaskan kepentingan tim di atas dirimu sendiri menunjukkan kedewasaan dan integritas sebagai pemimpin, namun ini bisa menjadi proses yang menantang, terutama jika kamu belum siap untuk berbagi kredit dan menerima kesalahan orang lain.

Udah Siap Jadi Manager?

Menjadi seorang manager bukan hanya soal gaji lebih tinggi atau jabatan yang lebih prestisius, tetapi juga soal tanggung jawab yang lebih besar. Kamu harus siap untuk melepaskan peran teknis dan mengambil peran strategis, mengurus masalah orang lain, dan memprioritaskan kepentingan tim di atas kepentinganmu sendiri.

Jika kamu merasa belum siap untuk menghadapi tantangan ini, mungkin ada baiknya menunda langkahmu menjadi seorang manager. Namun, jika kamu merasa tertarik dan termotivasi untuk tumbuh melalui tantangan ini, mungkin sudah saatnya kamu mempertimbangkan langkah tersebut. Yang pasti, jangan lupa bahwa menjadi manager bukan hanya soal mencapai tujuan pribadi, tetapi juga tentang membantu orang lain tumbuh dan mencapai potensi terbaik mereka.

Sudah siap belum jadi manager? []
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hipnosis itu dari kata “hypnos” yang konon adalah nama dari dewa tidur menurut kepercayaan bangsa Yunani dulu. Tapi perlu digarisbawahi bahwa hipnosis tidak sama dengan tidur. Hanya kondisi akan tidur atau terbangun dari tidur tapi malas untuk bangun itulah kondisi—yang katanya hipnosis.

Ada banyak cara untuk membimbing seseorang memasuki kondisi hipnosis. Salah satu cara yang sangat dikenal dan digemari oleh hipnoterapis adalah model shock induction.

Shock induction merupakan cara menuju kondisi hipnotis dengan cara memberikan kejutan. Polanya cukup sederhana, mengalihkan perhatian (focus), menciptakan kaget (shock), kemudian dengan cepat memberikan sugesti.

Mudah? Tentu, kalau sudah mahir.

Ditambah juga dengan keyakinan seorang hipnoterapis maka akan berbanding lurus dengan keberhasilan dalam proses shock induction ini, dan keyakinan bisa didapatkan dengan serangkaian pengalaman tentunya.

Di jalanan biasanya ada yang dengan menepuk punggung, disaat sedang orang yang ditepuk berpikir lalu segera diberikan sugesti. Konon pelakunya sebenarnya tidak belajar secara khusus, melalui pelatihan hipnosis, namun dari pengalaman di dunia nyata mereka menjadi terampil.

Kemudian dalam dunia hipnosis dikenal pula istilah ‘Trans’ (Trance). Trans adalah fenomena alamiah manusia, ketika seseorang berada dalam kondisi pikiran terfokus tapi rileks. Dalam kondisi ini, pikiran kritis ter-bypass karenanya seseorang dapat merespon berbagai stimulus berupa sugesti dan memunculkan perilaku seolah tanpa disadari.

Berbeda dengan shock induction, ada cara lain yang lebih halus untuk menghadirkan Trans; yaitu dengan tekhnik progressive relaxation. Dalam teknik ini, pemberian sugesti diberikan secara bertahap, melibatkan sebuah proses yang distrukturisasi secara bertingkat.

Semisal, seseorang yang menangis haru karena romantismenya film India atau drama Korea, karena dalam film yang baik selalu memiliki alur yang terstruktur. Hingga seolah penonton bisa merasakan kejadian yang berlangsung dalam film. Itulah kondisi Trans.

Kehidupan kita ini juga sebenarnya juga merupakan proses dari hipnosis itu sendiri. Kita terus menerus menerima sugesti dari luar maupun dari kata hati tanpa henti bahkan ketika kondisi tidur sekalipun. Setiap hari, setiap saat, sebenarnya kita masuk dari satu trans ke trans lainnya. Kita terus berfikir, berperasaan, bersikap dan berperilaku sesuai trans yang terjadi dalam diri kita masing-masing.

Ketika trans dalam diri kita indah, baik dan terarah, maka kita pun menjalani pola hidup (state pattern) ini dengan indah, bahagia, baik dan terarah pula. Sebaliknya, bila state pattern kita—trans negatif, merusak, mengganggu dan mendholimi diri kita dan orang-orang di sekitar kita, maka sikap dan perilaku kita, tanpa kita sadari juga negatif, mengganggu dan merusak.

Tingkat kesadaran manusia itu berlapis. Sekiranya sesuatu masih berada di batas norma, maka ia sangat mungkin ditembus. Namun jika sudah masuk ke dalam keyakinan, maka umumnya manusia punya mekanisme pertahanan diri yang kokoh.

Memang inilah salah satu fungsi pikiran bawah sadar (subconscious atau unconscious) melindung sang diri dari berbagai hal yang mengancam. Misalnya, buatlah seseorang dalam kondisi trans yang diinginkan lalu minta dia untuk telanjang di depan umum: akan sangat sulit. Namun dengan sedikit trik dan “kesabaran” itu bisa saja dilakukan.

Maka...

Jalan hidup kita pun seringkali memberikan hipnosis dengan teknik shock induction, berupa kejadian-kejadian yang seringkali kita sebut sebagai bencana, kecelakaan, kebentur tembok, kena batunya, menuai badai, hukum karma, dan sebagainya.

Betapa banyak orang yang menjadi tertunduk, ketika harus mengalami bencana-bencana besar, dipecat dari pekerjaan, hutang menumpuk, anak mengalami sakit keras, terlibat kasus berat di pengadilan dan kemudian berdo'a: "Tuhan aku bersimpuh di hadapan-Mu, tolonglah hamba-Mu ini."

Kehidupan telah melakukan shock induction terhadap kita. Konon orang-orang sukses, katakanlah seperti Jack Ma, Chairul Tanjung, atau siapa pun yang menurut kalian sukses, pernah mengalami nasib yang kurang menguntungkan yang menjadi faktor pengungkit, sehingga mereka mencapai puncak prestasi.

Maka dari itu, apapun yang terjadi pada kita, baik atau buruk, sebenarnya mempunyai maksud baik, karena selama kita hidup di dunia ini, selama itu pula pintu taubat masih terbuka. Kita hidup di dunia ini untuk dididik, bukan untuk dihukum.

Tentu lebih baik bagi kita untuk mau atau bersedia mendengarkan isyarat-isyarat kehidupan yang lembut untuk berbenah diri daripada harus mengalami bencana yang berat.

Namun, dalam hidup ini selalu ada rumus: jika kita tidak mau mengindahkan isyarat dari angin sepoi-sepoi, maka badai akan mengingatkan kita. Jika sentuhan lembut tidak dihiraukan, maka palu godam akan menghantam kita.

Maka, akan jauh lebih baik bagi kita untuk banyak-banyak muhasabah (instropeksi diri), tafakur (merenung), membuat perencanaan yang baik, bersikap dan berperilaku yang baik, bahagia dan membahagiakan. Lebih baik melakukan teknik hipnosis yang indah dan lembut: progressive relaxation daripada kehidupan terpaksa menggunakan shock induction.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Setelah beberapa minggu, kasus Mbah Lasmi dibawa ke pengadilan. Di ruang sidang yang penuh sesak, Mbah Lasmi duduk di kursi terdakwa. Dengan suara pelan, ia menjelaskan kepada hakim, “Yang Mulia, kayu-kayu ini aku kumpulkan dari lahan yang sudah lama kumiliki. Aku hanya mengambil yang sudah jatuh dan kering, tidak pernah aku tebang pohon."

Pihak penuntut dari perusahaan bersikeras bahwa hutan itu adalah milik PT Perhutani dan setiap pengambilan kayu, berapa pun jumlahnya, merupakan pelanggaran hukum.

Hakim mendengarkan dengan saksama, memperhatikan semua bukti dan argumen dari kedua belah pihak. Mata hakim sesekali melirik ke arah Mbah Lasmi yang duduk dengan tubuh lemah, wajahnya penuh keriput, tetapi matanya masih menunjukkan keteguhan hati.

Setelah menimbang semua hal, hakim akhirnya berbicara, “Secara hukum, Mbah Lasmi memang telah memasuki wilayah hutan yang diakui sebagai milik PT Perhutani. Namun, berdasarkan pertimbangan hati nurani, moral, dan kondisi kehidupan terdakwa, pengadilan memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman.

Tindakan ini dilakukan tanpa niat buruk dan bukan untuk tujuan perusakan. Pengadilan memberikan diskresi untuk mengedepankan rasa keadilan yang sesungguhnya."

Mbah Lasmi menangis haru, sementara orang-orang di ruang sidang terdiam. Mungkin bagi mereka kini ada kesadaran baru bahwa hukum memang penting, tetapi keadilan sejati tidak hanya dilihat dari aturan tertulis, melainkan juga dari hati nurani dan nilai-nilai moral.

Ya, kita semua mungkin tidak asing dengan kisah Mbah Lasmi ini. Kasus seorang nenek yang diseret ke pengadilan karena kayu-kayu yang dia ambil ternyata berada di atas tanah PT Perhutani.

Bagi sebagian besar dari kita mungkin menganggap kayu itu tidaklah seberapa nilainya. Tapi dalam kasus Mbah Lasmi, kayu menjadi perkara yang cukup besar!

Mbah Lasmi menilai bahwa kayu-kayu itu adalah penopang untuk hidupnya terus berjalan dan dia membutuhkannya, apa pun caranya. Bagi PT Perhutani (mungkin) kehilangan kayu-kayu itu pun menjadi persoalan besar tentang hukum yang seharusnya tidak pandang bulu bagi siapa pun yang melanggarnya.

Di cerita yang saya tulis ini, hakim memilih penggunaan diskresi: untuk membuat keputusan ketika hukum tidak sepenuhnya jelas atau ada pertimbangan moral dan etis yang perlu diperhatikan. Mbah Lasmi ini hanya sebuah karangan, terinspirasi dari kasus serupa yang menimpa Nenek Asiani. Bedanya, Nenek Asiani dinyatakan bersalah oleh hakim, dikenai hukuman penjara satu tahun dan denda 500 juta rupiah.

Warga mengenakan topeng bergambar terdakwa kasus pencurian kayu Perhutani,
Asiani (63 tahun) saat di Solo, meminta pembebasan Minggu (5/4).
(ANTARA/Maulana Surya)

Apakah hakim memberikan keputusan yang tidak adil untuk nenek Asiani? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tapi bagi saya tentu akan kecewa dengan keputusan hakim jika pengambilan keputusan hanya sekadar mematuhi hukum, lantas mengabaikan hati nurani, moral, dan etika.

Manusia seharusnya tidak hanya perlu patuh pada hukum, tapi ia juga harus bermoral. // Aan Sopiyan, S.Psi.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Jika kamu tidak menarif harga dirimu sendiri, maka orang lainlah yang akan melakukannya. Inilah kenyataan terbesar dari hidup!

Bagaimana cara mendapatkan tawaran terbaik, keuntungan maksimal, atau titik puncak dalam segala hal? Inilah caranya: mintalah setinggi bintang supaya kamu dapat yang setidaknya setinggi bulan.

Banyak hal dalam hidup ini nyaris bersifat subjektif, artinya bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan pendapat cenderung menjadi fakta di hampir semua situasi baru. Kemudian, semua informasi akan disaring melalui subjektifitas baru itu.

Jika kamu ingin menarif harga dirimu, atau sesuatu yang kamu miliki, maka kamu harusnya menciptakan gambaran yang benar!

Dalam bernegosiasi, mulailah dengan harga yang sangat tinggi, sekalipun harga itu agak tidak masuk akal. Hal ini penting dilakukan, yang mana artinya kamu telah mengawali pembicaraan.

Ingat, kamu tidak sedang ingin ditertawakan karena harga tinggi yang kamu pasang, tetapi kamu sedang berusaha agar dianggap serius.

Setiap kita bertransaksi dengan seseorang, atau untuk sesuatu, yang belum diketahui nilainya, orang pertama yang memberikan penilaianlah yang akan menentukan harganya.

Ketika kita membicarakan nilai itu dalam kaitannya dengan orang lain, bukan dalam kaitan dengan nilai dia sebagai manusia. Maka, nilai adalah kuantitas yang tak diketahui, yang persepsi atasnya bisa diubah dengan menerapkan dua prinsip psikologi khusus.

Setiap kali bertransaksi atas sesuatu yang abstrak nilainya, tentukanlah harga sesukamu, dan sepanjang tidak ada nilai baku untuknya, kamu tidak akan dianggap tidak masuk akal.


Misalnya, kamu adalah seorang fotografer amatir—memotret hanya untuk hobi—dan seseorang ingin menyewa keahlianmu sebagai pekerja lepas. Berapa kamu akan memasang tarif?

Beberapa fotografer profesional memasang tarif Rp 5.000.000 per hari, katakanlah seperti itu. Apakah kamu selevel dengan mereka? Mungkin tidak, tetapi jika Anda memasang tarif Rp 250.000 per hari, kamu jelas tidak akan dianggap sebagai salah satu fotografer terbaik.

Akankah kamu ditertawakan jika memasang tarif Rp 2.000.000 per hari? Tentu tidak.

Sekalipun Anda berpikir bahwa mereka tidak akan mampu membayarmu sebanyak itu, tetapi kini kamu sedang bernegosiasi dari titik awal yang sangat tinggi—harga awal yang sudah kamu tetapkan.

Pada akhirya, kamu akan sah sah saja memasang harga jauh di bawah harga tersebut, dan mereka akan senang karena tidak mendapatkan fotografer yang berkualitas Rp 500.000.

Mereka akan merasa telah menyewa fotografer kelas Rp 2.000.000 per hari hanya dengan membayar Rp 500.000!

Sekarang kita lihat bagaimana hukum ini memengaruhi kita dalam kehidupan sehari-hari.

Misal kamu sedang berbelanja dan melihat sebuah jaket yang menurutmu cukup murah harganya, yakni Rp 170.000. Kamu kemudian berpikir, "Oke, lumayan."

Tetapi, kamu kemudian mengetahui bahwa harga jaket itu ternyata adalah Rp 1.700.000. Anggapan kamu tentang jaket itu pasti seketika berubah.

Kamu mulai menyadari bahwa jaket yang menurutmu cukup bagus itu ternyata memiliki kualitas bahan dan jahitan yang istimewa, dan Anda pun mencermatinya dengan teliti dan mengetahui mengapa jaket itu begitu mahal.

Ketika harganya Rp 1.700.000, kamu mungkin tidak membelinya. Tetapi, jika pada minggu berikutnya jaket itu dijual dengan harga Rp 490.000, kamu pasti langsung membelinya.

Mengapa? Karena ada nilai yang telah ditetapkan sebelumnya.

Selain harga, ada faktor lain yang turut menentukan nilai. Kriteria lain yang menentukan harga adalah ketersediaan.

Singkatnya, semakin langka sesuatu, semakin tinggi orang menilainya. Emas, minyak, dan berlian jauh lebih bernilai daripada air dan udara yang tersedia secara melimpah.

Sekalipun kita sangat membutuhkan air dan udara, tetapi emas dan perhiasanlah yang kita anggap lebih bernilai. (Namun, tentu saja, air menjadi lebih berharga dari intan dan berlian manakala ia sangat sulit diperoleh).

Lalu bagaimana kamu menetapkan “harga” dirimu dalam hubungan pribadi? Ya, kamu juga bisa membuat dirimu lebih berharga dengan menjadikan kamu tidak mudah diperoleh.

Dalam hubungan seksual, misalnya, jika kamu sejak awal mengobralnya kepada pasanganmu (yang nonhalal pastinya), maka seks dan dirimu sendiri akan kurang dihargai. Hal ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.

Dalam dunia kerja, jika kamu terlalu mengalah pada kepentingan atasan, apa kira-kira persepsi teman kerja dan bosmu? Apakah kamu akan dianggap berharga ataukah hanya seonggok benda?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Di sebuah sudut kota yang sibuk, ada kafe kecil yang tampaknya selalu dipenuhi pelanggan. Bukan karena letaknya yang strategis, bukan pula karena harga yang murah.


Namun, ada sesuatu yang membuat orang datang kembali, merasakan suasana yang nyaman, dan selalu memesan lebih dari sekadar kopi. Rahasianya terletak pada penerapan psikologi pemasaran yang cerdas.

Bagi seorang pengusaha kafe, memahami psikologi pelanggan adalah kunci sukses. Pengalaman di kafe bukan hanya soal makanan atau minuman yang disajikan, tetapi tentang bagaimana perasaan yang diciptakan saat pelanggan melangkah masuk. 

Semuanya dimulai dengan kesan pertama. Kafe ini dirancang dengan dekorasi hangat yang membuat orang merasa seperti di rumah.

Warna dinding dipilih dengan hati-hati, menggunakan palet lembut seperti cokelat, hijau zaitun, dan krem yang menenangkan, karena warna-warna ini secara psikologis dapat menciptakan suasana rileks dan nyaman.

Aroma kopi segar yang menyebar di ruangan segera membangkitkan indra pelanggan, membangun hubungan emosional dengan pengalaman mereka.

Semua ini dilakukan secara sadar, karena pengetahuan tentang psikologi warna dan aroma telah membuktikan bahwa hal-hal kecil dapat membangun pengalaman yang luar biasa.

Selanjutnya, pengusaha kafe ini menggunakan teknik scarcity (kelangkaan), di mana menu spesial harian atau kopi edisi terbatas dipromosikan dengan kalimat seperti, "Tersedia hanya hari ini" atau "Batch terbatas". Ini menciptakan rasa urgensi pada pelanggan, mendorong mereka untuk mencoba sesuatu yang baru sebelum kehilangan kesempatan.

Fear of missing out (FOMO) adalah salah satu teknik psikologi pemasaran yang sangat efektif, karena manusia cenderung ingin mendapatkan sesuatu yang mereka rasa langka atau sulit didapat.

Selain itu, pengusaha kafe ini paham betul tentang efek harga psikologis. Daripada mencantumkan harga Rp 20.000 untuk secangkir kopi, mereka menuliskannya sebagai Rp 19.900. Meski perbedaannya sangat kecil, otak manusia cenderung melihat angka yang lebih rendah ini sebagai penawaran yang lebih menarik.

Tidak hanya itu, ukuran minuman atau makanan juga dipengaruhi oleh anchoring—dengan menempatkan ukuran besar dan lebih mahal di samping pilihan standar, pelanggan sering kali memilih ukuran menengah karena terlihat lebih “bernilai”.

Namun, yang paling penting adalah bagaimana emosi pelanggan dipengaruhi melalui pelayanan. Pengusaha kafe ini melatih stafnya untuk selalu ramah, tersenyum, dan memberi sentuhan personal.

Ketika pelanggan datang untuk kedua kalinya dan pelayan mengingat pesanan mereka, pelanggan merasa dihargai dan diperhatikan, menciptakan hubungan emosional yang kuat dengan kafe tersebut. Ini adalah strategi psikologis yang sederhana, tetapi sangat efektif untuk menciptakan loyalitas pelanggan.

Musik yang diputar di kafe juga memainkan peran penting. Dengan memilih musik yang tepat, mulai dari jazz lembut di pagi hari hingga musik akustik yang menenangkan di malam hari, suasana yang dibangun membantu memperpanjang durasi kunjungan pelanggan.

Musik yang dipilih secara hati-hati ini mengarahkan suasana hati, membuat pelanggan ingin tinggal lebih lama dan—secara tidak sadar—membelanjakan lebih banyak.

Penerapan psikologi pemasaran oleh pengusaha kafe ini bukan sekadar strategi untuk meningkatkan penjualan. Ini adalah tentang menciptakan pengalaman holistik yang meninggalkan kesan mendalam.

Ketika pelanggan merasa nyaman, dipahami, dan diistimewakan, mereka tidak hanya membeli secangkir kopi; mereka membeli sebuah pengalaman yang ingin diulang berkali-kali.

Di dunia yang semakin kompetitif, pengusaha kafe ini tahu bahwa memenangkan hati pelanggan bukan hanya soal kualitas produk, tapi tentang bagaimana membuat mereka merasa terhubung dengan kafe dan merek yang dibangun. Dalam penerapan psikologi pemasaran, inilah rahasia kesuksesan mereka!



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Rahasia penjualan adalah soal kepercayaan. Mari tanyakan tentang pertanyaan ini pada diri sendiri: “Jika kita pantas dipercaya oleh orang lain, apakah menjadi hal yang penting bagi kita untuk dihargai?” Pikir kita mungkin, “Tentu saja!”

Tetapi apakah kita memang memantaskan diri sebagai orang yang dapat dipercaya sehingga layak untuk dihargai?

Pepatah lama bilang: “Caramu melakukan satu hal adalah caramu juga melakukan segala hal.” Jadi, tanyakan lagi pada dirimu: Apakah kamu bersikap dengan cara yang bisa dipercaya seharian, atau hanya ketika kamu sedang jualan?

Jika kamu melihat selembar uang 100 ribu rupiah di jalan, apakah kamu memungutnya atau berusaha mencari pemiliknya?

Jika kamu berkata, “Saya akan meneleponmu besok,” apakah kamu akan melakukannya? Atau malah membuat alasan tentang mengapa kamu tidak jadi menelepon?

Berjualanlah dengan kepercayaan dan kepercayaan adalah tentang integritas. Penjualan sering dipandang sebagai bisnis yang mencurigakan karena terkadang penjual dipandang sebagai orang yang tidak memiliki integritas.

“Dia akan mengobral janji apa pun agar jualannya laku.”

“Ketika saya berjalan ke tempat mobil dipajang, penjual tidak berusaha menjual mobil yang terbaik untuk saya; dia lebih berusaha menjual mobil yang paling perlu dijual.”

Ya, kan?

Mari kita lihat dua skenario, salah satunya adalah skenario ketika kepercayaan menjadi landasan dari penjualan dan yang lain adalah kebalikannya.

Dua puluh tahun lalu, Nina, seorang wanita paruh baya, kehilangan suaminya karena penyakit kanker. Dia dan anak-anaknya pindah dari rumah keluarga ke sebuah Villa yang indah di tepi pantai.

Jiwa tenang melihat ombak laut berkejaran di pantai saat dia duduk di teras setiap pagi. Kucing mereka, Sweety, berbaring di dekat kakinya saat dia memperhatikan kapal pesiar lewat.

Salah satu hal yang pernah dia bicarakan dengan suaminya adalah mengikuti pelayaran dengan kapal pesiar di Maladewa. Tentu saja Nina tidak bisa melakukan perjalanan itu bersama suaminya, tetapi dia masih bisa menciptakan kenangan yang indah bersama anak-anaknya. Jadi, dia memesan perjalanan selama 21 hari dengan kapal pesiar. Anak-anaknya begitu gembira!

“Tetapi siapa yang akan mengurus Sweety dan ikanku?” tanya putrinya.

“Apakah Ibu akan benar-benar memercayai orang lain memasuki rumah kita?” tanya putranya.

Sweety berusia 15 belas tahun dan membutuhkan obat ginjal dua kali sehari. Dia harus diberi makanan khusus dan diperbolehkan keluar pada jam tertentu.

Nina jelas perlu menemukan seseorang yang bisa dia percaya untuk merawat hewan peliharaan dan rumahnya.


Orang pertama yang dia wawancarai adalah Jenni. Dia adalah seorang mahasiswi berusia 19 tahun yang Nina temukan di Grup Facebook tentang penunggu hewan peliharaan.

Saat berjalan masuk dan melihat pemandangan laut yang luas, Jenni berkata, “Wow, ini pemandangan yang sangat indah. Ibu pasti sering mengadakan pesta besar di sini.”

Ketika Sweety mendekat dan mulai bertingkah lucu, dia membungkuk dan membelai, tetapi matanya terus melihat ke sekeliling Villa.

Sepanjang waktu berada di sana, Jenni terus berpikir tentang akan betapa menyenangkannya tinggal di sana: Saya bisa minum kopi di teras setiap pagi. Mungkin berlatih yoga. “Ibu sungguh beruntung bisa tinggal di sini,” katanya.

Saat Nina menjelaskan tugas yang perlu dilakukan, dia ragu apakah Jenni benar-benar mendengarkan. Dia hanya terus berjalan dari kamar ke kamar, menatap pemandangan.

Saat wawancara berakhir, Nina memberitahu Jenni bahwa dia sedang mewawancarai beberapa orang lain dan kelak akan menghubunginya. Kenyataannya, meski di atas kertas Jenni tampak bagus, ada sesuatu yang hilang.

Orang kedua yang diwawancarai Nina adalah Hesti. Dia berusia lima puluh tahun dan anak-anaknya sedang pergi mengunjungi ayah mereka selama liburan sekolah, dan dia ingin keluar dari rumahnya sendiri untuk menyibukkan diri.

Saat berjalan masuk, hal pertama yang dia lakukan adalah membungkuk dan bicara kepada Sweety. “Halo, Manis. Apa kabar?” Dengan bijak Hesti mengenali bahwa kepedulian pertama Nina adalah seberapa baiknya dia bisa membina hubungan dengan Sweety.

Secara sadar dia memutuskan untuk tidak mengomentari pemandangan ataupun Villa itu. Dia di sana bukan untuk mengagumi pemandangan atau rumah.

Dia ada di sana untuk menyelesaikan masalah, dan masalahnya adalah “Apa yang harus saya lakukan untuk mengurus hewan-hewan saya ketika saya pergi?”

Untuk menyukseskan penjualan ini, Hesti tahu dia perlu menunjukkan bahwa dia pantas dipercaya oleh Nina. Hesti menempatkan diri di posisi Nina. Apa yang akan saya rasakan jika saya baru kehilangan suami dan saya akan pergi dari rumah bersama anak-anak selama tiga minggu? Apa yang akan menjadi masalah bagi saya?

Nina dan Hesti duduk di sofa dan bicara. Hesti mengajukan pertanyaan tentang perjalanan, tentang cara merawat Sweety, dan tentang ikan.

Seluruh fokusnya tercurah pada membantu Nina melihat bahwa dia bisa memercayainya. Tidak menjadi masalah apakah kelak dia akan bisa minum kopi atau berlatih yoga di teras.

Dari dua skenario ini sangatlah jelas siapa yang mendapatkan pekerjaan itu.

Apakah karena Hesti lebih berkualifikasi? Tidak; Jenni sangat direkomendasikan di komunitas penjaga penunggu hewan. Dia mahasiswa, muncul tepat waktu untuk wawancara, dan telah melakukan semua hal yang benar. Kecuali satu hal. Dia belum menyadari bahwa sebenarnya yang dia jual adalah kepercayaan. //


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Halo, pengunjung yang budiman, selamat datang di blog Halo Aan! Saya sangat senang akhirnya bisa berbagi kisah, pengalaman, dan pengetahuan di sini. Untuk kamu yang baru pertama kali mampir, perkenalkan, saya adalah Aan Sopiyan. Sebagai seorang penggemar dunia pemasaran digital dan pengembangan diri, saya telah menempuh perjalanan yang penuh tantangan, inspirasi, dan tentu saja pembelajaran yang luar biasa.

Seperti kamu, saya juga seseorang yang berusaha menemukan keseimbangan antara pekerjaan, passion, dan kehidupan pribadi. Selama beberapa tahun terakhir, saya bekerja di bidang marketing pada industri sosial, sambil terus belajar tentang bagaimana teknologi dan pemasaran dapat membantu bisnis berkembang, serta bagaimana kita dapat berkembang sebagai individu.

Mengapa Saya Membuat Blog Ini? Sederhana: saya ingin berbagi. Berbagi wawasan, pengalaman, dan cerita yang mungkin bisa membantu kamu dalam perjalananmu sendiri. Baik itu tentang strategi pemasaran, tips produktivitas, atau panduan praktis tentang pengembangan diri, saya harap setiap tulisan di sini bisa memberikan nilai bagi kamu.

Blog ini akan membahas banyak hal yang relevan dengan dunia marketing, branding, serta bagaimana kita dapat memahami perilaku konsumen di era digital ini. Namun, tidak hanya itu. Saya juga akan berbicara tentang perkembangan diri, kreativitas, dan hal-hal yang mungkin bisa memberi inspirasi baru dalam hidupmu. 

Saya percaya bahwa berbagi adalah salah satu cara terbaik untuk tumbuh, baik secara pribadi maupun profesional. Melalui blog ini, saya ingin membangun komunitas di mana kita bisa belajar satu sama lain, bertukar ide, dan menciptakan diskusi yang membangun. Dan tentunya, saya ingin juga mendengarnya dari kamu! Jangan ragu untuk meninggalkan komentar atau menghubungi saya jika kamu punya pertanyaan, ide, atau bahkan sekadar ingin menyapa.

Terima kasih sudah mampir ke blog saya, dan saya berharap kamu bisa menemukan sesuatu yang berharga di sini. Ayo, kita mulai perjalanan ini bersama!


//
Salam hangat,
Aan Sopiyan, S.Psi., C.Ht., CASH




Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts

About me

About Me

Digital Marketer. Penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas". Konselor Psikologi.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Februari 2025 (2)
  • Januari 2025 (6)
  • Desember 2024 (5)
  • November 2024 (1)
  • Oktober 2024 (19)
  • September 2024 (14)

Created with by ThemeXpose