• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Aan Sopiyan

Halo, saya Aan Sopiyan, penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas" juga Konselor Psikologi & NGO Profesional.


Kamu pernah nggak sih merasa seperti seluruh dunia sedang menghakimi kamu gara-gara satu kesalahan yang kamu buat? Saya pernah, dan sadar atau pun tidak, mungkin terlalu sering malah. Ada kalanya saya terbangun di tengah malam, memutar ulang adegan kesalahan itu di kepala, dan bertanya-tanya, "Kenapa saya bisa begitu bodoh?" Rasanya, beban itu sulit dilepaskan. Tapi, pelan-pelan saya belajar bahwa kesalahan itu bukan hanya sesuatu yang buruk; mereka juga adalah guru yang sangat berharga.

Ketika kita bicara tentang kesalahan, sering kali kita terjebak pada narasi bahwa kesalahan adalah sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Padahal, menurut Carl Jung, salah satu tokoh besar dalam psikologi, kesalahan adalah bagian dari proses individuasi, yaitu perjalanan kita untuk menjadi diri kita yang utuh. Jung percaya bahwa dengan menghadapi dan menerima kesalahan, kita sebenarnya sedang mengintegrasikan sisi-sisi gelap dari diri kita sendiri. Nah, dari situ saya mulai mencoba melihat kesalahan dengan cara yang berbeda.

Satu pengalaman yang masih saya ingat adalah ketika saya salah mengambil keputusan besar di tempat kerja. Waktu itu, saya terlalu percaya diri, kurang mendengarkan masukan orang lain, dan akhirnya proyek itu gagal total. Perasaan bersalahnya luar biasa. Saya merasa telah mengecewakan tim, atasan, dan terutama diri sendiri. Saya ingin lari dari semua itu, tetapi sayangnya, nggak ada tempat untuk lari. Hari demi hari saya bawa rasa bersalah itu, seperti ransel berat yang nggak pernah bisa saya lepas.

Sampai suatu hari, seorang teman mengatakan sesuatu yang mengubah perspektif saya. Dia bilang, "Kamu tahu, semua orang pernah bikin kesalahan. Yang penting itu bukan kesalahannya, tapi apa yang kamu lakukan setelahnya." Awalnya, saya menganggap itu hanya kata-kata penghibur. Tapi setelah pikir-pikir, ada benarnya juga. Saya mulai mencoba melihat kesalahan saya bukan sebagai tanda kegagalan, tapi sebagai kesempatan untuk belajar.

Penelitian dalam psikologi positif mendukung ide ini. Menurut Carol Dweck, seorang psikolog terkenal dari Stanford University, orang dengan pola pikir berkembang (growth mindset) melihat kesalahan sebagai peluang untuk tumbuh. Mereka percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan bisa berkembang melalui usaha dan pengalaman, termasuk pengalaman gagal. Jadi, kalau kita terus-menerus menghakimi diri sendiri atas kesalahan, kita malah memblokir peluang untuk belajar dan berkembang.

Namun, jujur saja, merangkul kesalahan itu nggak semudah teori. Ada satu fase yang menurut saya paling sulit: menerima bahwa saya manusia biasa yang bisa salah. Ego saya sering kali nggak mau mengakui itu. Ada suara kecil di kepala yang terus membisikkan, "Kalau kamu nggak bikin kesalahan itu, semuanya akan lebih baik." Suara itu keras dan menyebalkan. Tapi kemudian saya sadar, membenci diri sendiri hanya memperburuk situasi.

Salah satu cara saya mencoba berdamai dengan kesalahan adalah dengan mempraktikkan self-compassion. Kristin Neff, seorang peneliti terkemuka di bidang ini, mengatakan bahwa self-compassion melibatkan tiga hal: kebaikan kepada diri sendiri, rasa kemanusiaan bersama, dan mindfulness. Yang pertama, kebaikan kepada diri sendiri, berarti berbicara kepada diri kita dengan lembut, seperti kita berbicara kepada teman yang sedang kesulitan. Yang kedua, rasa kemanusiaan bersama, mengingatkan kita bahwa semua orang pernah mengalami kesulitan dan membuat kesalahan. Dan yang terakhir, mindfulness, membantu kita menerima emosi tanpa harus terjebak di dalamnya.

Saya mulai mempraktikkan ini secara perlahan. Ketika rasa bersalah muncul, saya berhenti dan berkata pada diri sendiri, "Ini memang berat, tapi semua orang pernah melalui hal seperti ini. Kamu nggak sendirian." Awalnya terasa aneh, seperti berbicara dengan diri sendiri itu hal yang konyol. Tapi lama-kelamaan, saya merasa sedikit lega. Saya nggak lagi melihat kesalahan sebagai musuh yang harus dikalahkan, tapi sebagai bagian dari perjalanan.

Tentu saja, menerima kesalahan bukan berarti kita mengabaikannya atau nggak bertanggung jawab. Malah sebaliknya, ini tentang mengambil tanggung jawab dengan cara yang sehat. Saya belajar untuk menganalisis apa yang salah, memahami apa yang bisa saya lakukan dengan lebih baik, dan kemudian melangkah maju dengan rencana yang lebih matang. Di sini, refleksi menjadi alat yang sangat penting. Saya menuliskan perasaan dan pemikiran saya di jurnal, mencoba memahami pola-pola yang membuat saya jatuh ke kesalahan yang sama, dan mencari cara untuk menghindarinya di masa depan.

Yang menarik, semakin saya menerima kesalahan saya, semakin mudah saya memaafkan kesalahan orang lain. Saya jadi lebih sabar dan memahami bahwa setiap orang sedang berjuang dengan caranya sendiri. Ini juga membuat hubungan saya dengan orang-orang di sekitar menjadi lebih baik. Rasanya seperti ada lingkaran kebaikan yang dimulai dari diri sendiri, lalu menyebar ke orang lain.

Sampai hari ini, saya masih membuat kesalahan. Tentu saja. Saya manusia. Tapi, sekarang saya tahu bahwa kesalahan itu bukan akhir dari segalanya. Mereka adalah pengingat bahwa saya sedang hidup, mencoba, dan belajar. Seperti kata pepatah Jepang, "Nana korobi ya oki"—jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali. Yang penting bukan seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa kuat kita bangkit kembali.

Jadi, jika kamu sedang bergumul dengan kesalahan, cobalah untuk melihatnya sebagai bagian dari perjalananmu. Kamu nggak sendiri, dan kamu pasti bisa melangkah maju. Seperti yang teman saya bilang waktu itu, yang penting bukan kesalahannya, tapi apa yang kamu lakukan setelahnya.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Saya membuka mata di pagi hari, hal pertama yang sering saya lakukan adalah meraih HP di samping bantal. Kamu juga mungkin begitu. Awalnya terasa seperti kebiasaan kecil yang sepele, hanya sekadar memeriksa notifikasi atau melihat apa yang sedang tren di media sosial. Tapi sadar atau tidak, momen itu sebenarnya adalah langkah pertama dari siklus yang lebih besar: tentang bagaimana HP mencuri fokus kita.


Kalau dipikir-pikir, HP memang dirancang untuk menarik perhatian. Setiap aplikasi, notifikasi, dan fitur di dalamnya punya tujuan utama: memastikan kita tetap terlibat. Ini bukan kebetulan. Pengembang aplikasi menggunakan prinsip psikologi untuk menciptakan pengalaman yang membuat kita sulit lepas. Salah satu konsepnya adalah variable reward. Kamu pernah dengar eksperimen Skinner dengan tikus? Tikus diberi tuas, dan saat mereka menekannya, kadang dapat makanan, kadang tidak. Ketidakpastian inilah yang membuat mereka terus menekan tuas itu. Sekarang, bayangkan HP kamu sebagai tuas itu, dan setiap notifikasi atau update sebagai hadiahnya.

Bayangkan ini: kamu sedang bekerja, lalu HP kamu berbunyi. Otak langsung bereaksi, seperti refleks. "Apa itu? Mungkin sesuatu yang penting." Kamu meraih HP dan membuka notifikasi, hanya untuk menemukan promosi diskon dari aplikasi belanja. Tapi karena sudah membuka HP, kamu berpikir, "Sekalian cek Instagram, deh." Lima menit berubah jadi lima belas, dan tiba-tiba waktu kerja kamu sudah berantakan. Saya tahu karena saya sering terjebak dalam situasi yang sama.

Yang menarik, ini bukan cuma soal distraksi kecil. Ketika kita terus-menerus membagi perhatian antara HP dan tugas lain, otak kita tidak pernah benar-benar fokus. Penelitian dari University of California menunjukkan bahwa butuh rata-rata 23 menit untuk kembali sepenuhnya fokus setelah terganggu. Kalau kamu menerima notifikasi setiap sepuluh menit, secara teori, kamu tidak pernah benar-benar fokus sepanjang hari.

Tapi apa yang membuat ini lebih rumit adalah perasaan yang muncul saat kita mencoba melawan distraksi ini. Pernahkah kamu merasa cemas saat lupa membawa HP? Atau gelisah kalau tidak memeriksa media sosial dalam waktu lama? Perasaan itu bukan kebetulan. Para psikolog menyebut fenomena ini sebagai nomophobia (no-mobile-phone phobia), rasa takut atau cemas berlebihan saat tidak bisa mengakses HP. Ini bukan berarti kita semua kecanduan, tapi jelas ada hubungan emosional yang kuat antara kita dan HP.

Namun, semua ini bukan berarti HP adalah penjahatnya. Pada dasarnya, teknologi hanyalah alat, dan bagaimana kita menggunakannya bergantung pada pilihan kita. Masalahnya, pilihan-pilihan itu seringkali tidak sadar. Misalnya, pernahkah kamu memikirkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk scroll tanpa tujuan? Menurut DataReportal, rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 8 jam sehari di internet, dengan hampir separuhnya di media sosial. Itu setara dengan satu shift kerja penuh.

Salah satu alasan kita sulit lepas dari HP adalah karena ia memberi kita ilusi kontrol. Saat membuka media sosial atau memeriksa berita, kita merasa seperti sedang "melakukan sesuatu". Padahal, seringnya kita menjadi konsumen pasif, bukan aktor aktif. Algoritma dirancang untuk memberikan konten yang membuat kita terus berada di platform, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu dan perhatian kita.

Tapi tentu saja, kita tidak harus menyerah begitu saja. Salah satu cara yang saya coba adalah dengan menerapkan digital detox. Tidak perlu ekstrem seperti mematikan HP selama seminggu penuh (walaupun kalau bisa, kenapa tidak?). Mulailah dari langkah kecil, seperti mematikan notifikasi untuk aplikasi yang tidak penting atau menetapkan waktu tertentu di mana kamu tidak akan menyentuh HP sama sekali. Saya juga menemukan bahwa meletakkan HP di tempat yang jauh dari jangkauan fisik saat bekerja sangat membantu. Dengan begitu, saya tidak bisa langsung meraihnya hanya karena dorongan sesaat.

Kamu juga bisa memanfaatkan teknologi untuk melawan distraksi itu sendiri. Ada banyak aplikasi produktivitas yang dirancang untuk membantu kita tetap fokus, seperti aplikasi yang memblokir akses ke media sosial selama jam kerja atau aplikasi meditasi yang membantu kita kembali ke momen saat ini. Saya sendiri menggunakan teknik Pomodoro, di mana saya bekerja selama 25 menit penuh tanpa distraksi, lalu istirahat singkat 5 menit. Cara ini membantu saya membangun kebiasaan fokus yang lebih baik.

Lebih dari itu, saya merasa penting untuk mengingatkan diri sendiri kenapa kita ingin fokus sejak awal. Apa tujuan kita? Apa hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita? Ketika jawabannya jelas, distraksi dari HP tidak lagi terasa semenarik dulu. Fokus kita akan tertarik secara alami ke hal-hal yang benar-benar berarti.

Pada akhirnya, saya tidak percaya bahwa solusi masalah ini adalah meninggalkan teknologi sepenuhnya. Sebaliknya, ini tentang membangun hubungan yang sehat dengan teknologi. Sama seperti hubungan lainnya, itu membutuhkan batasan, kesadaran, dan upaya terus-menerus. Saya yakin, dengan sedikit usaha, kita bisa mengambil kembali kendali atas perhatian kita. Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari sekarang? Letakkan HP kamu, tarik napas dalam-dalam, dan tanyakan pada diri sendiri: apa hal penting yang ingin kamu fokuskan hari ini?
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Saya nggak tahu pastinya, tapi ada masa saya merasa capek banget karena terus-terusan membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain. Huft! Rasanya seperti lagi ikut lomba lari, tapi saya nggak pernah tahu siapa lawannya, apa aturannya, dan kapan garis finish-nya. Dan yang lebih parah, seolah saya terus merasa tertinggal. Kamu pernah merasakan itu nggak? Kalau iya, santai, kamu nggak sendirian. Untungnya, banyak orang mengalami hal yang sama, apalagi di era sekarang yang segalanya serba terlihat sempurna di media sosial.

Kamu buka Instagram, lihat teman-teman kamu posting liburan ke tempat keren, dapat promosi kerja, atau berhasil bikin bisnis sendiri. Terus kamu refleks mikir, kok mereka bisa, ya? Kok gue masih begini-begini aja? Padahal, apa yang kamu lihat itu hanyalah sepotong kecil dari kehidupan mereka. Media sosial itu kayak galeri seni—semua dipoles, dirapikan, dan dipajang hanya untuk memperlihatkan sisi terbaik. Kamu nggak bakal lihat usaha keras di balik layar, kegagalan yang mereka alami, atau bahkan rasa lelah yang mungkin mereka rasakan. Jadi, membandingkan hidup kamu yang nyata dengan versi “highlight” orang lain itu nggak adil, kan?


Kita sering lupa kalau perjalanan hidup itu beda-beda. Ada yang jalannya mulus kayak aspal tol, tapi ada juga yang penuh belokan dan tanjakan. Kamu mungkin sedang di titik tanjakan yang curam, dan itu nggak apa-apa. Semua orang punya waktu masing-masing untuk sampai ke tujuan. Nggak ada aturan baku yang bilang kamu harus sukses di usia tertentu atau punya pencapaian tertentu. Hidup itu bukan balapan, apalagi balapan yang harus kamu menangkan sebelum orang lain. Hidup itu lebih mirip perjalanan santai, di mana kamu bisa berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan, mengambil napas, dan melanjutkan lagi saat kamu siap.

Kalau kamu merasa terlalu berat membandingkan diri terus-menerus, coba deh fokus ke apa yang udah kamu capai. Nggak peduli sekecil apapun itu, setiap langkah kecil tetap berarti. Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri, sampai lupa untuk menghargai apa yang sudah kita lakukan. Coba pikirkan lagi, kapan terakhir kali kamu bilang, “Good job, gue udah sejauh ini” ke diri kamu sendiri? Kalau belum pernah, ini saatnya untuk mulai. Kamu bisa bikin daftar kecil tentang hal-hal yang pernah kamu capai, sekecil apapun itu. Misalnya, kamu berhasil menyelesaikan deadline kerja yang susah banget, atau mungkin kamu berhasil bangkit lagi setelah jatuh. Semua itu layak dirayakan, karena perjalanan hidupmu itu unik dan nggak bisa dibandingkan dengan orang lain.

Selain itu, nggak ada salahnya kok untuk ambil jeda dari media sosial. Kadang, dunia digital ini terlalu bising, sampai-sampai kamu lupa kalau ada dunia nyata di luar sana yang lebih damai dan menyenangkan. Coba deh hapus sementara aplikasi-aplikasi itu dari ponsel kamu, atau setidaknya kurangi waktu scrolling-nya. Gunakan waktu yang kamu hemat itu untuk hal-hal yang bikin kamu bahagia. Baca buku, coba resep masakan baru, jalan-jalan di taman, fotografi, atau mungkin mulai menulis jurnal harian. Kegiatan-kegiatan ini nggak cuma membantu kamu “detoks” dari media sosial, tapi juga bikin kamu lebih dekat sama diri sendiri.

Ketika kamu sudah mulai belajar untuk nggak terlalu membandingkan diri, kamu akan sadar kalau hidup itu jauh lebih tenang. Nggak ada tekanan untuk selalu jadi yang terbaik, nggak ada rasa cemas karena merasa tertinggal. Yang ada hanya kamu dan perjalananmu sendiri, dengan semua liku-likunya. Ingat, setiap orang punya ritme hidup yang berbeda. Ada yang cepat, ada yang lambat, tapi itu semua tetap valid. Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi tentang bagaimana kamu menikmati setiap momen yang ada.

Kalau kamu masih merasa kesulitan, jangan ragu untuk cari dukungan dari orang-orang terdekat. Kadang, berbagi cerita dengan teman atau keluarga bisa sangat membantu. Mereka bisa memberikan sudut pandang yang baru, atau sekadar menjadi pendengar yang baik. Dukungan emosional dari orang lain itu penting, lho. Jangan takut untuk bilang kalau kamu butuh bantuan atau sekadar ingin didengar. Percayalah, kamu nggak perlu menghadapi semuanya sendirian.

Dan yang paling penting, selalu ingat kalau kamu cukup. Kamu nggak perlu jadi seperti orang lain untuk merasa berarti. Kamu punya nilai karena kamu adalah dirimu sendiri. Jadi, daripada terus fokus pada apa yang nggak kamu miliki, kenapa nggak mulai mensyukuri apa yang sudah ada? Bersyukur itu nggak berarti kamu berhenti berusaha, tapi itu adalah cara untuk menikmati perjalanan sambil tetap bergerak maju. Seperti kata pepatah, “Perjalanan ribuan mil dimulai dengan satu langkah kecil.” Jadi, teruslah melangkah, sekecil apapun langkah itu.

Kamu nggak tertinggal. Kamu cuma sedang menunggu waktu terbaik untuk bersinar.

Share
Tweet
Pin
Share
27 komentar
Pernahkah kamu duduk di depan layar kosong, jari-jarimu menggantung di atas keyboard, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar? Rasanya seperti semua ide yang tadinya begitu deras mengalir tiba-tiba menguap, meninggalkan ruang kosong yang menyesakkan. Sebagai seorang blogger, saya sering mengalaminya—writer's block. Mungkin kamu juga, kalau sudah membaca sejauh ini. Writer's block itu semacam musuh bayangan yang, walaupun tak terlihat, punya kekuatan besar untuk melumpuhkan kreativitas.

Tapi di tengah frustrasi itu, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan: stoikisme. Kamu tahu, filsafat Yunani kuno yang sering diasosiasikan dengan ketenangan batin dan penerimaan terhadap hidup? Ternyata, cara berpikir ala stoik bisa jadi kunci untuk menghadapi writer's block. Dan saya akan ceritakan bagaimana itu bekerja—melalui pengalaman, cerita, dan sedikit filosofi.


Saya pertama kali mengenal filosofi stoik setelah nonton On Marissa’s Mind di channel Youtube Greatmind. Bermula dari sana, kemudian tertarik untuk cari tahu, baca-baca, dan banyak dengerin podcast juga untuk lebih tahu lagi soal stoik ini. Hingga sampai tahu kisah Marcus Aurelius, kaisar Romawi yang diam-diam adalah seorang penulis jurnal. Bukunya, Meditations, bukanlah buku yang ia tulis untuk orang lain; itu lebih seperti catatan pribadinya. Di tengah perang, penyakit, dan tekanan menjadi pemimpin sebuah kerajaan besar, Marcus menulis. Dia menulis bukan karena dia selalu tahu apa yang harus dia tulis, tetapi karena dia tahu bahwa menulis adalah cara untuk mengarahkan pikirannya.

Satu kalimat dari Meditations terus terngiang di kepala saya: “You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.” Bagi Marcus, dunia luar penuh dengan hal-hal yang tidak bisa dia kendalikan. Sama seperti kita tidak bisa mengontrol apakah ide-ide mengalir lancar atau tersendat. Tapi pikiran? Itu wilayah kita. Pikiran adalah tempat di mana writer's block sebenarnya berakar.

Ketika saya membaca itu, saya langsung ingat suatu malam ketika saya benar-benar stuck untuk posting tulisan ke blog. Tenggat waktu semakin dekat, tetapi setiap kata yang saya ketik terasa salah. Saya menatap kursor yang berkedip di layar laptop, dan semakin saya mencoba, malah semakin frustrasi. Lalu saya berhenti, menutup laptop, dan berpikir: apa yang sebenarnya menghalangi saya? Jawabannya adalah diri saya sendiri. Ketakutan akan gagal, perfeksionisme, dan harapan bahwa saya harus selalu “mengalir”.

Ada satu cerita lain yang membantu saya memahami ini, meskipun dari dunia yang jauh berbeda: kisah J.K. Rowling saat dia menulis buku pertama Harry Potter. Rowling pernah bercerita bahwa dia menulis sebagian besar novel pertamanya di sebuah kafe kecil sambil bergulat dengan banyak tekanan hidup—masalah keuangan, tanggung jawab sebagai ibu tunggal, bahkan keraguan diri yang konstan. Menariknya, dia tidak membiarkan keadaan eksternal menghentikannya. Seperti seorang stoik, dia fokus pada apa yang bisa dia kendalikan: duduk, menuangkan satu kalimat ke kertas, dan terus melangkah meski hari-hari terasa berat.

Ketika kamu mulai memandang writer's block bukan sebagai rintangan permanen, tapi lebih sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dihadapi, ada semacam kebebasan di sana. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu prinsip stoik: Amor Fati—mencintai takdir. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menerima dan bahkan merangkul tantangan. Bagi seorang penulis, mungkin itu berarti menerima writer's block sebagai tanda bahwa kamu sedang berada di tepi sebuah ide besar, bukan akhir dari kreativitasmu.

Jadi, apa yang saya lakukan ketika writer's block datang? Saya berhenti melawan. Saya berhenti menuntut diri sendiri untuk langsung menemukan kata-kata yang sempurna. Alih-alih, saya mencoba pendekatan yang lebih santai, seperti yang mungkin disarankan oleh Epictetus, seorang filsuf stoik lainnya. Dia mengatakan, “It's not what happens to you, but how you react to it that matters.” Dalam konteks menulis, ini berarti bagaimana kita merespons kebuntuan yang menentukan apakah kita bisa terus maju atau tidak.

Kadang, saya mulai dengan hal-hal kecil. Misalnya, menulis satu paragraf buruk dengan sengaja. Ya, buruk. Saya membiarkan diri saya menulis sembarang tanpa takut dihakimi—oleh pembaca, editor, atau bahkan oleh diri saya sendiri. Stoikisme mengajarkan untuk melepaskan diri dari kebutuhan akan hasil sempurna. Proseslah yang penting. Dan kamu tahu apa? Paragraf buruk itu sering kali menjadi jalan masuk ke ide yang lebih baik.

Ada hari-hari ketika saya hanya duduk dan menuliskan daftar kata atau frasa yang terlintas di pikiran. Tidak ada tujuan spesifik. Tidak ada tekanan. Terkadang, cara ini mengalirkan kembali kreativitas seperti air yang perlahan merembes di celah-celah batu.

Pernahkah kamu berpikir bahwa writer's block sebenarnya adalah bagian dari perjalanan yang perlu dirayakan? Sama seperti Marcus Aurelius yang menerima perang dan tantangan hidup sebagai bagian dari tugasnya sebagai seorang kaisar, kita juga perlu menerima kebuntuan sebagai bagian dari kehidupan seorang penulis. Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada ilusi bahwa hidup selalu lancar. Seorang stoik tahu bahwa gangguan itu tak terelakkan, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapi gangguan tersebut.

Suatu kali, saat saya benar-benar kehabisan ide, saya mencoba teknik lain yang terinspirasi dari stoikisme: visualisasi negatif. Dalam filosofi stoik, ini adalah praktik membayangkan skenario terburuk untuk membantu kita menghargai apa yang kita miliki saat ini. Saya mempraktikkannya dengan membayangkan hidup tanpa kemampuan untuk menulis sama sekali. Apa yang akan terjadi jika saya kehilangan kemampuan itu? Anehnya, pikiran itu malah membuat saya lebih bersyukur dan memberi saya keberanian untuk mencoba menulis lagi, meskipun hanya sedikit demi sedikit.

Writer's block, kalau dipikir-pikir, hanyalah sebuah nama untuk sesuatu yang sering kali terlalu kita dramatisasi. Dalam pandangan stoik, writer's block bukanlah musuh. Itu adalah teman yang membantu kita untuk menjadi lebih sabar, lebih rendah hati, dan lebih berani menerima bahwa tulisan yang kita hasilkan mungkin tidak sempurna—dan itu tidak masalah.

Jadi, kalau kamu sedang terjebak dalam writer's block, cobalah untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Ingatlah apa yang bisa kamu kendalikan dan lepaskan hal-hal yang tidak bisa kamu kontrol. Duduklah, tuliskan satu kalimat buruk, dan biarkan itu menjadi awal yang sederhana. Seperti kata-kata bijak dari Marcus Aurelius: “Do what you can, with what you have, where you are.”

Kamu tidak perlu menunggu momen yang sempurna untuk menulis. Mulailah sekarang. Layar kosong itu mungkin menakutkan, tetapi itu juga adalah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi seorang stoik modern yang menghadapi tantangan kreatif dengan tenang, gigih, dan penuh penerimaan.

Share
Tweet
Pin
Share
20 komentar
Halo, kamu pernah nggak, merasa kayak dunia sedang berkonspirasi untuk bikin hari kamu jadi super berat? Kayak ada awan gelap yang terus ngikutin ke mana pun kamu pergi. Kalau iya, saya cuma mau bilang: kamu nggak sendirian. Banyak dari kita pernah (atau sedang) merasa kayak gitu, dan kadang, itu lebih tentang kesehatan mental kita daripada sekadar “hari buruk.”

Nah, mari kita bahas kenapa kesehatan mental itu penting, bukan cuma untuk kamu, tapi juga untuk saya, dia, mereka, dan semua orang di sekitar kita. Saya akan coba cerita dengan cara yang santai, kayak ngobrol di coffee shop favorit kamu.



Kesehatan Mental: Bukan Sekadar Isu, Tapi Fondasi Kehidupan

Coba bayangin, kesehatan mental itu kayak akar pohon besar di hutan. Kalau akar itu kuat, pohonnya kokoh, daunnya hijau, dan buahnya lebat. Tapi kalau akarnya busuk atau rapuh, pohonnya gampang tumbang, bahkan oleh angin sepoi-sepoi. Nah, kita ini adalah pohon itu, dan kesehatan mental adalah akarnya.

Mungkin selama ini kita sering denger tentang kesehatan fisik. Olahraga, makan makanan sehat, tidur cukup, dan sebagainya. Tapi gimana dengan kesehatan mental? Padahal, ini fondasi dari segala hal yang kita lakukan. Mulai dari cara kita berpikir, merasakan, sampai mengambil keputusan, semua itu dikendalikan oleh kondisi mental kita.

Misalnya nih, seorang blogger yang sering bikin konten untuk pembaca setianya. Kalau mentalnya lagi nggak stabil, dia mungkin merasa stuck, nggak ada ide, atau malah malas nulis. Hasilnya? Blog yang biasanya rame jadi sepi karena kontennya jarang update.

Saya pernah berada di posisi di mana kesehatan mental saya benar-benar diuji. Malam itu, saya lagi nge-scroll media sosial, ngeliat orang-orang ngeposting pencapaian mereka. Ada yang baru beli rumah, ada yang lagi jalan-jalan ke luar negeri, dan ada yang sukses bikin bisnis. Saya? Lagi pusing karena deadline kerjaan yang menumpuk padahal tanggal gajian masih jauh dan gaji juga (ehem) gak besar-besar amat, beda tipis sama UMR lah ya.

Pikiran saya langsung berlari liar. Kenapa saya nggak bisa kayak mereka? Apa yang salah dengan hidup saya? Malam itu, saya nggak bisa tidur. Rasanya kayak ada suara kecil di kepala yang terus nyalahin saya atas segala hal yang belum saya capai.

Pernah nggak kamu merasa kayak gitu? Kalau iya, percayalah, itu adalah alarm kecil dari tubuh kita yang bilang: “Hey, kamu butuh istirahat, nggak cuma fisik, tapi juga mental.”

Saya tahu, di budaya kita, kesehatan mental sering dianggap remeh. Ada stigma yang bilang, “Ah, kamu cuma kurang bersyukur,” atau “Jangan manja, hidup memang berat.” Padahal, kesehatan mental bukan soal kuat atau lemah. Itu adalah soal bagaimana kita merawat diri kita sendiri.

Coba deh bayangin, kamu lagi nyetir mobil dan lampu indikator bahan bakar menyala. Apa yang akan kamu lakukan? Tentu kamu bakal cari pom bensin, kan? Tapi, kalau tubuh kamu yang kasih sinyal bahwa kamu sedang “kehabisan bahan bakar,” kenapa seringnya malah kita abaikan?

Saya bukan ahli meski background pendidikan saya psikologi, tapi ada beberapa hal yang benar-benar membantu saya menjaga kesehatan mental yang mungkin bisa kamu ikutin.

Menulis sebagai Terapi. Sebagai blogger, menulis adalah cara saya mengeluarkan isi kepala. Kadang, saya nggak nulis untuk pembaca, tapi untuk diri sendiri. Saya menuangkan semua kekhawatiran, mimpi, bahkan hal-hal kecil yang bikin saya bahagia. Ternyata, menulis itu seperti membersihkan debu di sudut-sudut hati.

Mencari Dukungan. Ada masa di mana saya merasa terlalu berat untuk menghadapi semuanya sendirian. Waktu itu, saya mulai cerita ke teman dekat, dan ternyata, mereka mendengarkan dengan baik. Bahkan, saya juga pernah konsultasi dengan psikolog (kebetulan dosen sendiri), dan itu adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya.

Mengatur Ekspektasi. Dulu, saya sering banget menetapkan target yang terlalu tinggi. Akibatnya, kalau gagal, saya jadi stres sendiri. Sekarang, saya belajar untuk lebih realistis. Saya selalu bilang ke diri sendiri, “Kamu boleh berusaha keras, tapi jangan lupa beri ruang untuk bernapas.”

Kesehatan Mental dan Produktivitas: Dua Sisi Mata Uang

Pernah dengar istilah “burnout”? Ini adalah kondisi di mana kamu merasa lelah secara fisik, emosional, dan mental karena tekanan yang terus-menerus. Sebagai blogger, saya pernah ngalamin itu. Rasanya kayak kamu sudah nggak punya energi untuk menulis, bahkan ide-ide yang biasanya mengalir deras pun mendadak mampet.

Waktu itu, saya sempat berpikir, “Kalau saya istirahat, pembaca saya mungkin akan pergi.” Tapi ternyata, istirahat itu justru menyelamatkan saya. Ketika saya kembali, ide-ide baru muncul, tulisan saya lebih fresh, dan pembaca saya tetap ada.

Kamu juga perlu tahu, menjaga kesehatan mental nggak bikin kamu malas atau kurang ambisius. Justru, itu bikin kamu lebih fokus dan produktif.

Bayangin kalau hidup ini adalah sebuah taman. Kamu adalah tukang kebunnya. Kalau kamu cuma fokus menyiram bunga dan lupa merawat tanahnya, lama-kelamaan bunga itu akan layu. Nah, metafora ini mengibaratkan bahwa kesehatan mental adalah tanahnya. Kalau tanahnya subur, taman kamu akan tumbuh indah.

Jadi, jangan cuma sibuk menyenangkan orang lain atau mengejar target, tapi lupa untuk merawat “tanah” kamu sendiri.

Kesehatan mental adalah perjalanan, bukan tujuan. Nggak ada yang namanya “mental yang sempurna,” karena kita semua adalah manusia dengan emosi yang naik turun. Tapi, yang penting adalah kita sadar bahwa itu perlu dirawat.

Kamu bisa mulai dari hal kecil:

  • Luangkan waktu 5 menit untuk merenung, atau meditasi untuk yang terbiasa, atau ya… sekadar menarik napas dalam-dalam.
  • Catat tiga hal yang kamu syukuri hari ini.
  • Jangan takut untuk bilang “tidak” kalau kamu merasa terlalu banyak tekanan.

Kamu adalah orang paling penting dalam hidup kamu. Kalau kamu nggak menjaga diri sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya? Punya kesehatan mental yang sehat adalah hadiah terbaik yang bisa kamu beri untuk diri sendiri.

Jadi, mulai sekarang, yuk lebih peduli sama kesehatan mental kita. Karena ketika pikiran kita sehat, semuanya terasa lebih ringan. Kamu dan saya bisa jadi versi terbaik dari diri kita, dan dunia ini pun terasa lebih cerah. Insya Allah…

Share
Tweet
Pin
Share
29 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Digital Marketer. Penulis buku "Masterclass Menulis: Teknik, Disiplin, dan Kreativitas". Konselor Psikologi.

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

Categories

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • Februari 2025 (2)
  • Januari 2025 (6)
  • Desember 2024 (5)
  • November 2024 (1)
  • Oktober 2024 (19)
  • September 2024 (14)

Created with by ThemeXpose